Minggu, 28 Desember 2008

Fiqih Poligami

MEMAHAMI MASALAH POLIGAMI DALAM TINJAUAN SYAR’I

MUQODDIMAH

“Penyebab timbulnya image negative terhadap praktek poligami yang dibolehkan dalam Islam sebenarnya adalah tidak komitmennya kaum muslimin dengan petunjuk agama dalam menjalankan tanggung jawab. Penolakan para muslimah di seperempat bagian masyarakat muslim lebih disebabkan karena kaum laki laki muslim sendiri jatuh dan tidak bisa memenuhi fungsi keagamaan dan kehilangan karakter kelaki-lakian dari patriarkhinya”.

Inilah kritikan seorang muslimah dari keluarga Yahudi di Amerika yang dengan ridha menjalani praktek poligami, menjadi istri kedua dari seorang muslim yang sholih dan taat kepada tanggung jawab agamanya. Beliau adalah Maryam Jameelah, seorang intelektual, penulis di bidang agama, filsafat, sejarah dan peradaban. Lahir di New York, Amerika Serikat, 3 Mei 1934, dengan nama “Margaret Marcus”.

Keislamannya terjadi setelah beliau memahami Islam lewat korespondensinya dengan Abul A’la Al Maududi yang dilakukan sejak Desember 1960 sampai dengan Mei 1962. Ke-Islamannya inilah yang menghantarkannya melakukan hijrah ke Pakistan dan menjadi Istri ke-dua seorang Muslim Pakistan yang bernama Mohammad Yusuf Khan, seorang aktifis full timer (tafarrugh) Jama’at Islami. Pernikahan ini pula yang menghantarkan dirinya menjadi ibu dari empat orang anak, hidup dengan madunya serta anak anaknya di sebuah rumah besar bersama ipar-iparnya.

Hal yang menjadikannya ridho menjalani kehidupan Sebagai istri kedua adalah keyakinannya terhadap konsep manusia dalam Islam. Menurutnya, manusia adalah hamba Tuhan (man as the slave of God), sebuah konsep yang mendorongnya untuk tunduk sepenuhnya terhadap kehendak Allah (Masyi-atullah; submission to the will of Allah). Dan salah satu kehendak Allah yang diyakininya adalah kehidupan poligami, sebagaimana disebutkan dengan jelas dalam Qs. An Nisa (4):3.

Pemahaman tentang dasar syari’at poligami inilah, yang menjadikannya beliau tidak pernah mempertanyakan isu keadilan dalam hubungan antara laki laki dan perempuan. Tapi ini tidak berarti bahwa dia tidak menjunjung tinggi keadilan. Hanya saja, keadilan yang diinginkannya adalah keadilan dalam definisi yang digariskan Allah dalam wahyu-Nya. Bukan, pemahaman keadilan yang diajarkan oleh Barat di Negara Negara Islam jajahannya, yang mendeskripsikan keadilan dengan persamaan (gender) perempuan dengan laki-laki hingga mendorongnya kaum wanita berperilaku sama dalam masalah kebebasan hubungannya dengan lelaki,sebagaimana yang biasa dilakukan oleh kaum lelaki. Keadilan dalam Islam adalah mendudukkan hubungan lelaki dengan wanita berdasarkan peran dan fungsinya masing masing, sehingga dari hubungan ini melahirkan kerjasama ideal.

Dan pemahaman inilah yang menjadikannya bahagia dan tidak merasa hina Sebagai istri kedua dari lelaki yang – oleh sebagian besar masyarakat memandangnya- lebih rendah darinya. SUBHANALLAH!


KONSEP POLIGAMI DALAM ISLAM

Ada banyak kesalah pahaman masyarakat dalam memandang masalah poligami. Kesalah-pahaman yang pertama adanya pemahamanan bahwa Qs. An Nisa (4):3 adalah hujjah yang melegitimasi / menjadi pembenar adanya perilaku poligami. Padahal, sebelum turunnya ayat tersebut, poligami adalah perilaku halal yang telah dikenal dan membudidaya dalam kehidupan masyarakat. Bahkan, Rasulullah Saw sendiri ketika mendapatkan ayat ini, beliau telah beristri tiga, yaitu: Saudah binti Zum’ah (Wanita berkulit hitam dari Sudan yang telah menjadi janda, setelah suaminya; sahabat nabi As Sukran bin Amral Al Anshari gugur dalam medan jihad), Zainab binti jahsyin (mantan isteri dari Zaid bin Haritsah; anak angkatnya) dan Ummu Salamah binti Abu Umayyah (puteri dari bibinya yang pandai mengajar dan berpidato). Demikian halnya, dengan para sahabatnya yang mayoritas telah berpoligami. Karenanya, praktek poligami tidak membutuhkan pengesahan.

Diturunkannya ayat tersebut tiada lain adalah syari’at yang mewajibkan lelaki melakukan pembatasan dalam beristri dan kewajiban mempergauli mereka dengan baik. Kewajiab memperlakukan istri-istri dengan baik dan tidak cenderung kepada salah satunya ditegaskan oleh Allah Swt dalam Qs. An Nisa (4): 129, Dan kamu sekali kali tidak akan dapat berlaku adil terhadap istri istrimu, walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian. Karena itu, janganlah kamu terlalu cenderung kepada yang kamu cintai, sehingga kamu biarkan yang lain terkatung katung. Dan jika kamu berbuat kebaikan dan memelihara diri dari kejahatan, maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”. Kedua perintah itulah yang tidak pernah diketahui dan dikenal dalam oleh orang Arab penyembah berhala dan Kitab Perjanjian Lama dan Baru (Taurat dan Injil).

Kesalah-pahaman kedua adalah adanya penilaian masyarakat yang menjadikan poligami-nya Rasulullah SAW sebagai dalil sunnahnya poligami. Jika sunnah dipahami sebagai perilaku Rasul yang harus diikuti oleh ummatnya, maka dalam konteks poligami, tidak ditemukan –oleh penulis- satupun dalil naqli yang menjadi sandaran penyebutan sunnah pada praktek poligami. Kalaupun ada, adalah dalil tentang “sunnahnya nikah itu sendiri, bukan poligami”. Keterangan tersebut adalah suatu hadits yang disebutkan dalam kitab “Al Jami’u Al Kabiir Lis Suyuthi”, no. 10835 berikut:

النكاح سنتى فمن لم يعمل بسنتى فليس منى وتزوجوا فإنى مكاثر بكم الأمم ومن كان ذا طول فلينكح ومن لم يجد فعليه بالصيام فإن الصوم له وجاء (ابن ماجه عن عائشة)أخرجه ابن ماجه (1/592 ، رقم 1846) . قال البوصيرى (2/94) : هذا إسناد ضعيف . وأخرجه أيضًا : الديلمى (4/313 ، رقم 6920) .

Dan juga hadits yang menyebutkan “barang siapa benci dengan sunnahku”, di hadits Buhori juz XV/493 (4675) dan Muslim juz VII/175 ( 2487 )berikut:

حَدَّثَنَا سَعِيدُ بْنُ أَبِي مَرْيَمَ أَخْبَرَنَا مُحَمَّدُ بْنُ جَعْفَرٍ أَخْبَرَنَا حُمَيْدُ بْنُ أَبِي حُمَيْدٍ الطَّوِيلُ أَنَّهُ سَمِعَ أَنَسَ بْنَ مَالِكٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ يَقُولُ جَاءَ ثَلَاثَةُ رَهْطٍ إِلَى بُيُوتِ أَزْوَاجِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَسْأَلُونَ عَنْ عِبَادَةِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَلَمَّا أُخْبِرُوا كَأَنَّهُمْ تَقَالُّوهَا فَقَالُوا وَأَيْنَ نَحْنُ مِنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَدْ غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ وَمَا تَأَخَّرَ قَالَ أَحَدُهُمْ أَمَّا أَنَا فَإِنِّي أُصَلِّي اللَّيْلَ أَبَدًا وَقَالَ آخَرُ أَنَا أَصُومُ الدَّهْرَ وَلَا أُفْطِرُ وَقَالَ آخَرُ أَنَا أَعْتَزِلُ النِّسَاءَ فَلَا أَتَزَوَّجُ أَبَدًا فَجَاءَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِلَيْهِمْ فَقَالَ أَنْتُمْ الَّذِينَ قُلْتُمْ كَذَا وَكَذَا أَمَا وَاللَّهِ إِنِّي لَأَخْشَاكُمْ لِلَّهِ وَأَتْقَاكُمْ لَهُ لَكِنِّي أَصُومُ وَأُفْطِرُ وَأُصَلِّي وَأَرْقُدُ وَأَتَزَوَّجُ النِّسَاءَ فَمَنْ رَغِبَ عَنْ سُنَّتِي فَلَيْسَ مِنِّي

Kedua lafadz “Sunnatii” di hadits atas, menjelaskan tentang cara hidup Rasulullah Saw yang menjadikan nikah Sebagai jalan memenuhi kebutuhan akan pasangan (Azwaj), bukan zina. Hal ini disebabkan, jika “sunnah” poligaminya umat islam didasarkan pada “poligaminya” rasul, maka, seorang muslim baru di izinkan berpoligami setelah istri pertamanya meninggal dunia. Jika istri pertama sudah meninggal dunia, maka wanita yang boleh dinikahi adalah hingga 12 wanita.

Dengan demikian, poligami bukanlah bentuk pernikahan yang ketentuannya ditetapkan berdasarkan apa yang dilakukan oleh diri Rasulullah, melainkan perbuatan yang langsung ketentuannya datang dari Allah Subhanahu Wa Ta’ala, sebagaimana disebutkan dalam Qs. An Nisa (4):3 di atas. Ini lebih tinggi. Sekalipun demikian, ada sekelompok masyarakat yang menikahi lebih dari empat istri dengan menjadikan pernikahan Rasul dengan banyak wanita sebagai hujjahnya. Kenyataan tersebut, diungkap oleh Imam Ibnu Katsir dalam tafsirnya (Juz II/209) berikut ini:

قال الشافعي: وقد دَلَّت سنة رسول الله صلى الله عليه وسلم المبينة عن الله أنه لا يجوز لأحد غير رسول الله صلى الله عليه وسلم أن يجمع بين أكثر من أربع نسوة.وهذا الذي قاله الشافعي، رحمه الله، مجمع عليه بين العلماء، إلا ما حُكي عن طائفة من الشيعة أنه يجوز الجمع بين أكثر من أربع إلى تسع. وقال بعضهم: بلا حصر. وقد يتمسك بعضهم بفعل النبي صلى الله عليه وسلم في جمعه بين أكثر من أربع إلى تسع كما ثبت في الصحيحين، وإما إحدى عشرة كما جاء في بعض ألفاظ البخاري. ……………... وهذا عند العلماء من خصائص رسول الله صلى الله عليه وسلم دون غيره من الأمة، لما سنذكره من الأحاديث الدالة على الحصر في أربع.

Kesalah-pahaman yang ke-Tiga adalah menjadikan figure istri-istri rasulullah sebagai standar wanita yang harus dinikahi oleh orang yang berpoligami, seperti figure janda, tua, beranak banyak. Padahal ada ketentuan syar’i yang menjadi sebab bedanya poligami yang Rasulullah dengan poligami kaumnya. Jika apa yang menjadi dasar pernikahannya rasululullah adalah wahyu, bukan perasaan, ini bisa dikaji dari pernikahannya Rasulullah dengan Zainab binti Zahsyin yang diterangkan dalam Qs. 33/ 37-39 (silahkan dibaca dan direnungkan artinya!). Maka, yang menjadi dasar pernikahan kaumnya adalah pilihan dan kecenderungan. Ketentuan tersebut dapat ditemukan dalam beberapa hadits berikut ini:

1. HR.Buhori no.4700 (Juz XVI/33) dan HR. Muslim no.2661 (Juz VII/388).

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ تُنْكَحُ الْمَرْأَةُ لِأَرْبَعٍ لِمَالِهَا وَلِحَسَبِهَا وَجَمَالِهَا وَلِدِينِهَا فَاظْفَرْ بِذَاتِ الدِّينِ تَرِبَتْ يَدَاكَ

“Seorang wanita dinikahi karena empat hal, yaitu karena hartanya, karena kehormatannya, karena kecantikannya dan karena agamanya. Maka, pilihlah wanita yang memiliki dien, niscaya tanganmu akan barokah”.

2. HR. Abu Daud no. 1914 (Juz VI/164), tentang perintah Rasulullah saw kepada sahabatnya “Wahab Al Asadiyyi” untuk memilih empat saja dari delapan istri yang dinikahinya ketika dia masuk Islam bersama-sama. Perintah serupa juga disampaikan kepada Qois bin Al Harits.

قَالَ وَهْبٌ الْأَسَدِيِّ قَالَ أَسْلَمْتُ وَعِنْدِي ثَمَانُ نِسْوَةٍ فَذَكَرْتُ ذَلِكَ لِلنَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اخْتَرْ مِنْهُنَّ أَرْبَعًا

3. HR. Ahmad no.4403 (Juz IX/439), tentang perintah Rasulullah Saw kepada “Ghailan bin Salamah” untuk memilih empat dari sepuluh istrinya ketika masuk Islam.

أَخْبَرَنَا ابْنُ شِهَابٍ عَنْ سَالِمٍ عَنْ أَبِيهِ أَنَّ غَيْلَانَ بْنَ سَلَمَةَ الثَّقَفِيَّ أَسْلَمَ وَتَحْتَهُ عَشْرُ نِسْوَةٍ فَقَالَ لَهُ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اخْتَرْ مِنْهُنَّ أَرْبَعًا

Demikian halnya dengan standar umur, Rasulullah justru menganjurkan lelaki untuk menikahi wanita wanita yang masih berpeluang memberikan keturunan baginya. Itulah sebabnya, sebagaimana diterangkan oleh Sayyid Sabiq dalam Kitab Fiqhus Sunnahnya (Jilid II / 19 ; atau halaman 23 dalam versi Maktabah Syamilah) beliau mengutip beberapa riwayat yang menjadi hujjah agar seorang lelaki hendaknya mencari calon istri yang masih gadis (أن تكون الزوجة بكرا ) bukan janda dan berumur tidak terlalu jauh berbeda dengan dirinya. Hal tersebut dinasihatkan Rasul Saw kepada Sahabat Jabir bin Abdillah r.a. ketika menikahi seorang janda. Tetapi karena Sahabat Jabir menjelaskan alasan dirinya menikahi seorang janda, yaitu : kebutuhan akan wanita yang memiliki pengalaman dalam mengurus rumah tangga, maka Rasulullah-pun menyetujui pernikahannya. ( Namun itu bukan berarti terlarang menikahi janda…..)

ولما تزوج جابر بن عبد الله ثيبا قال له رسول الله صلى الله عليه وسلم: (هلا بكرا تلاعبها وتلاعبك؟)، فأخبر رسول الله صلى الله عليه وسلم بأن أباه قد ترك بنات صغارا، وهن في حاجة إلى رعاية امرأة تقوم على شؤونهن، وأن الثيب أقدر على هذه الرعاية من البكر التي لم تدرب على تدبير المنزل.

Sedangkan tentang lebih baiknya wanita yang dinikahinya tidak terlalu jauh umurnya, ini sebagaimana yang dilakukan Rasulullah Saw ketika memutuskan untuk menolak lamaran Abu Bakar dan Umar Radhiyallahu ‘Anhumaa terhadap putrinya Fathimah ra dan menerima ‘Ali bin Abi Thalib ra. Padahal, kedua sahabat tersebut lebih mapan secara ekonomi dibandingkan ‘Ali bin Abi Thalib. Adapun jawaban Rasulullah ketika menolak kedua lamaran tersebut adalah ia terlalu mudah untuk kalian (إنها صغيرة). Tentang hal itu, Sayyid Sabiq menulis berikut ini:

وقد خطب أبو بكر وعمر رضي الله عنهما فاطمة بنت رسول الله صلى الله عليه وسلم، فقال: (إنها صغيرة). فلما خطبها علي زوجها إياه.

Kesalah-pahaman yang ke-Empat adalah mendudukkan masalah “Keadilan” sebagai “syarat” dalam poligami. Padahal, keadilan bukanlah syarat sebagaimana syarat syahnya sholat dengan wudhu, melainkan kewajiban dalam pernikahan berpoligami. Jika keadilan dijadikan syarat, maka akan ada banyak istri yang dikorbankan dalam pernikahan. Mengapa? Karena sesuai dengan “tekstual ayat”nya, seharusnya pernikahan yang pertama seorang lelaki adalah minimal dengan dua wanita sekaligus (فَانْكِحُوا مَا طَابَ لَكُمْ مِنَ النِّسَاءِ مَثْنَى ). Jika dalam pernikahan tersebut tidak mampu berbuat adil, ia baru diizinkan untuk menikahi satu wanita saja. Artinya, ada istri yang dikorbankan dengan diceraikannya. Kasihan…

Sehubungan dengan masalah “keadilan” ini, ada dua hal yang harus dipahami, yang pertama adalah pengertian adil dan yang kedua adalah jenis keadilan yang bagaimanakah yang menjadi sebab dicukupkannya lelaki menikahi satu wanita saja. Untuk itu, perhatikan kedua ayat dalam surat An Nisa berikut ini!

وَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا تُقْسِطُوا فِي الْيَتَامَى فَانْكِحُوا مَا طَابَ لَكُمْ مِنَ النِّسَاءِ مَثْنَى وَثُلَاثَ وَرُبَاعَ فَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا تَعْدِلُوا فَوَاحِدَةً أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ ذَلِكَ أَدْنَى أَلَّا تَعُولُوا (3)

“Jika kamu takut tidak akan dapat berbuat adil terhadap (hak-hak) perempuan yatim (bilamana kamu menikahinya), maka nikahilah wanita lain (yang bukan anak yatim) yang kamu senangi, dua, tiga, atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (nikahilah) seorang saja, atau (nikahilah) budak budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya”.

وَلَنْ تَسْتَطِيعُوا أَنْ تَعْدِلُوا بَيْنَ النِّسَاءِ وَلَوْ حَرَصْتُمْ فَلَا تَمِيلُوا كُلَّ الْمَيْلِ فَتَذَرُوهَا كَالْمُعَلَّقَةِ وَإِنْ تُصْلِحُوا وَتَتَّقُوا فَإِنَّ اللَّهَ كَانَ غَفُورًا رَحِيمًا (129)

Dan kamu sekali kali tidak akan dapat berlaku adil terhadap istri istrimu, walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian. Karena itu, janganlah kamu terlalu cenderung kepada (salah satu istri yang) kamu cintai, sehingga kamu biarkan yang lain terkatung katung. Dan jika kamu berbuat kebaikan dan memelihara diri dari kejahatan, maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”

Merujuk kedua ayat di atas, Allah SWT menerangkan masalah keadilan dalam dua lafadz, yaitu “al Qisth” (أَلَّا تُقْسِطُوا ) dan “al ‘Adlu” (أَلَّا تَعْدِلُوا ). Berdasarkan beberapa penjelasan Allah di ayat ayat yang lain, seperti : Qs.Hud (11):85, Qs. Isra (17):35, Qs.Al Anbiya (21):47, Qs.Asy Syu’ara (26):182, Qs.Ar Rahman (55):9 dan Qs.Al Hadid (57):25, ditemukan suatu keterangan bahwa kata ‘al Qisthu’ adalah keadilan yang ada hubungannya dengan timbangan atau alat ukur suatu barang yang berat dan jumlah yang materialnya dapat dihitung. Itulah sebabnya, dalam konteks ayat pertama (Qs. An Nisa (4):3), yang menjadi asbabun nuzul larangan menikahi gadis yatim sebagaimana diterangkan oleh Ummahatul Mu’minin, Aisyah radhiyallahu ‘anha adalah disebabkan adanya percampuran harta gadis yatim dengan walinya yang tertarik untuk menikahinya, menjadi sebab wali tersebut tidak mau memberikan sejumlah mahar (yang ukuran jumlah dan beratnya dapat di timbang) ketika mau menikahinya. Terhadap wali seperti ini, Allah SWT melarang mereka untuk menikahinya. Karena pernikahan tersebut dapat menimbulkan kedzaliman (aniaya).

Tentang masalah ini, Ibnu Katsir, berdasarkan hadits Buhori, menulis dalam tafsirnya (Juz II/209) sebagai berikut:

عن ابن شهاب قال: أخبرني عروة بن الزبير أنه سأل عائشة عن قول الله تعالى (1) { وَإِنْ خِفْتُمْ أَلا تُقْسِطُوا فِي الْيَتَامَى } قالت: يا ابن أختي (2) هذه اليتيمة تكون في حجر وليها تَشْرَكه (3) في ماله ويعجبُه مالها وجمالها، فيريد وليها أن يتزوجها بغير أن يَقْسِط في صداقها فيعطيها مثل ما يعطيها غيره، فنهوا أن (4) ينكحوهن إلا أن يقسطوا لهن، ويبلغُوا بهنَّ أعلى سُنتهنَّ في الصداق، وأمِروا أن ينكحُوا ما طاب لهم من النساء سواهُنَّ.

Sedangkan kata ‘al Adlu’, berdasarkan beberapa penjelasan ayat berikut, seperti: Qs.An nisa (4):129,135; Qs.AL Maidah (5):8; Qs.Al An’am (6):115 adalah keadilan yang bersifat perasaan, seperti al hub (cinta), gairah (al hirsh) dan ungkapan (kalimat). Dalam hal ini, tak ada satupun manusia yang mampu berbuat ‘adil. Dan ini pula yang dirasakan oleh Rasululah Saw, karena perasaan sejatinya beliau tentang wanita hanyalah ada pada –true love- diri Khadijah binti Khuwailid ra. Karena itu, perintah Allah Swt terhadap orang yang berpoligami adalah janganlah kamu terlalu cenderung kepada (salah satu istri yang) kamu cintai,( فَلَا تَمِيلُوا كُلَّ الْمَيْلِ ) sehingga kamu biarkan yang lain terkatung katung bagaikan alat yang menggantung (فَتَذَرُوهَا كَالْمُعَلَّقَةِ ). Cenderung kepada salah satu istri, inilah yang dimaksud dengan “dan jika kamu takut tidak dapat berbuat adil, maka nikahilah satu wanita saja”.

Dengan demikian, menjadi jelaslahlah bahwa yang menjadi syarat utama poligami bukan keadilannya, akan tetapi ada tidaknya “keberanian” pada diri suami untuk menunaikan kewajibannya kepada setiap istrinya dengan “penuh tanggung jawab”. Sayangnya, banyak suami yang hanya memiliki keberaniannya saja…tetapi tidak bertanggung jawab.Karena pada dasarnya POLIGAMI BAGI SUAMI ADALAH BERTAMBAHNYA KEWAJIBAN DAN BERKURANGNYA HAK, SEDANGKAN POLIGAMI BAGI ISTRI ADALAH BERKURANGNYA KEWAJIBAN DAN TETAPNYA HAK”.

Sedikitnya lelaki muslim yang bertanggung jawab terhadap keluarga (istri dan anaknyal) inilah yang menjadi objek kritikan Margaret Marcus dalam tulisannya berikut ini: “Penyebab timbulnya image negative terhadap praktek poligami yang dibolehkan dalam Islam sebenarnya adalah tidak komitmennya kaum muslimin dengan petunjuk agama dalam menjalankan tanggung jawab. Penolakan para muslimah di seperempat bagian masyarakat muslim lebih disebabkan karena kaum laki laki muslim sendiri jatuh dan tidak bisa memenuhi fungsi keagamaan dan kehilangan karakter kelaki-lakian dari patriarkhinya”.


SYARI’AT POLIGAMI

Agar poligami dapat berjalan sesuai ketentuan syar’I, maka ada kaidah / prinsip hubungan yang harus dipahami oleh setiap muslim (laki-laki maupun perempuan), yaitu:

1. Prinsip poligami yang utama adalah “ada tidaknya sesuatu yang dapat dikategorikan thoyyibah” (مَا طَابَ لَكُمْ مِنَ النِّسَاءِ ) dalam pernikahan tersebut. Tentang, lafadz ini, Ath Thobari menafsirkannya (di bab 3,Juz VII/ 542 kitab Tafsir : جامع البيان في تأويل القرآن) bahwa yang dimaksud dengan (مَا طَابَ) adalah “pernikahan yang dapat membawa kebaikan baik bagi lelaki maupun wanitanya”. Tentang pengertian tersebut, beliau menulis sebagai berikut:

فإن قال قائل: وكيف قيل:"فانكحوا ما طاب لكم من النساء"، ولم يقل:"فانكحوا مَنْ طاب لكم"؟ وإنما يقال:"ما" في غير الناس.قيل: معنى ذلك على غير الوجه الذي ذهبتَ إليه، وإنما معناه: فانكحوا نكاحًا طيبًا، كما:- حدثني محمد بن عمرو قال، حدثنا عيسى، عن ابن أبي نجيح، عن مجاهد:"فانكحوا ما طاب لكم من النساء"، فانكحوا النساء نكاحًا طيبًا.

Atas dasar prinsip pertama, maka hal yang harus disadari oleh setiap pelaku poligami (laki-laki ataupun perempuan) adalah : KEBAIKAN APA YANG AKAN DIPEROLEH DARI PERNIKAHAN INI? APAKAH LELAKI YANG MENIKAHINYA DAPAT MEMBERIKAN KEBAIKAN YANG DIBUTUHKANNYA? ATAU ADAKAH KEBAIKAN DALAM DIRI WANITA TERSEBUT YANG MENDORONGNYA UNTUK MENIKAHINYA? ); Prinsip ini baru-lah bisa ditegakkan jika masing masing pihak memahami ukuran dan batas tanggung jawabnya. Dalam pernikahan, suami memiliki tanggung jawab terhadap masalah kebutuhan istrinya, baik kebutuhan sandang (al Malbas), Pangan (Ma’kal), papan (maskan) maupun kebutuhan kasih sayangnya (al unsu wal jima’), atau biasa dikenal dengan istilah kebutuhan nafkah bathin. Dalam konteks ini, pelaku poligami diwajibkan memenuhi tanggung jawabnya sesuai dengan kemampuan dirinya dan kebutuhan istrinya. Semua kebaikan yang ditunaikan oleh suaminya ini tidaklah boleh keluar dari dua tujuan, yaitu : Menjamin tersedianya kebutuhannya dan memuliakannya, atau disingkat dengan istilah “menJAMMU”. Tentang hal ini, Allah SWT Qs.Ath Thalaq (65):6-7 berikut:

أَسْكِنُوهُنَّ مِنْ حَيْثُ سَكَنْتُمْ مِنْ وُجْدِكُمْ ……………… لِيُنْفِقْ ذُو سَعَةٍ مِنْ سَعَتِهِ وَمَنْ قُدِرَ عَلَيْهِ رِزْقُهُ فَلْيُنْفِقْ مِمَّا آَتَاهُ اللَّهُ لَا يُكَلِّفُ اللَّهُ نَفْسًا إِلَّا مَا آَتَاهَا سَيَجْعَلُ اللَّهُ بَعْدَ عُسْرٍ يُسْرًا (7)

Tempatkanlah mereka (para istri) di mana kamu bertempat tinggal menurut kemampuanmu dan janganlah kamu menyusahkan mereka untuk menyempitkan (hati) mereka………. Hendaklah orang yang mampu memberi nafkah menurut kemampuannya, dan orang yang disempitkan rezekinya hendaklah memberi nafkah dari harta yang diberikan Allah kepadanya. Allah tidak memikulkan beban kepada seseorang melainkan sekedar apa yang Allah berikan kepadanya. Allah kelak akan memberikan kelapangan sesudah kesempitan”.

Namun, jika kita mengkaji peristiwa yang menjadi latar belakang adanya larangan Rasulullah Saw terhadap rencananya Ali bin Abi Thalib ‘menduakan’ Fathimah binti Muhammad dengan putrinya Abu Jahal dalam keterangan hadits Buhori (No.2879;Juz X/351) dan Muslim (No.4484;Juz XII/204) dari Sahabat Miswar bin Makhzamah ra berikut:

إِنَّ عَلِيَّ بْنَ أَبِي طَالِبٍ خَطَبَ ابْنَةَ أَبِي جَهْلٍ عَلَى فَاطِمَةَ عَلَيْهَا السَّلَام فَسَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَخْطُبُ النَّاسَ فِي ذَلِكَ عَلَى مِنْبَرِهِ هَذَا وَأَنَا يَوْمَئِذٍ مُحْتَلِمٌ فَقَالَ إِنَّ فَاطِمَةَ مِنِّي وَأَنَا أَتَخَوَّفُ أَنْ تُفْتَنَ فِي دِينِهَا ثُمَّ ذَكَرَ صِهْرًا لَهُ مِنْ بَنِي عَبْدِ شَمْسٍ فَأَثْنَى عَلَيْهِ فِي مُصَاهَرَتِهِ إِيَّاهُ قَالَ حَدَّثَنِي فَصَدَقَنِي وَوَعَدَنِي فَوَفَى لِي وَإِنِّي لَسْتُ أُحَرِّمُ حَلَالًا وَلَا أُحِلُّ حَرَامًا وَلَكِنْ وَاللَّهِ لَا تَجْتَمِعُ بِنْتُ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَبِنْتُ عَدُوِّ اللَّهِ أَبَدًا

Adalah adanya kekhawatiran menjadi rusaknya urusan agama Fathimah (فَقَالَ إِنَّ فَاطِمَةَ مِنِّي وَأَنَا أَتَخَوَّفُ أَنْ تُفْتَنَ فِي دِينِهَا ) disebabkan ia dikumpulkan dengan puteri musuh agama Allah yang dibawa oleh-nya. Ini berarti, larangan tersebut tidaklah didasarkan kepada ‘faktor perasaan manusiawinya seorang Muhammad sebagai bapaknya Fathimah, melainkan lebih disebabkan kepada kepentingan agamanya’. Karena bagaimanapun juga, tidaklah mungkin orang yang bertentangan aqidah dapat bersatu dalam membangun hubungan yang harmonis / kasih sayang secara tulus. terlebih lagi jika hubungan tersebut disebabkan pernikahan yang kedua. Ketidak mungkinan ini ditegaskan oleh Allah Swt dalam firman-Nya Qs. Al Mujadalah (58):22 berikut ini: “Kamu tidak akan mendapati sesuatu kaum yang beriman kepada Allah dan hari akhirat, saling berkasih sayang dengan orang orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya, sekalipun orang orang itu bapak-bapak, atau anak-anak atau saudara-saudara ataupun kerluarga mereka….” (Silahkan baca sendiri!!!).

Dengan demikian, maka yang dimaksud dengan “pernikahan yang baik” (فانكحوا نكاحًا طيبًا) adalah pernikahan yang dilakukan sebagai salah satu bentuk “syi’ar dienullah”. Syi’ar tersebut adalah “Menjadikan nikah sebagai satu satunya jalan bagi siapapun dalam memenuhi kebutuhan hidup bersama dengan pasangannya”. Dan syi’ar ini adalah kewajiban bagi setiap muslim maupun muslimat.

2. Prinsip kedua adalah “Keseimbangan” ( فَلَا تَمِيلُوا كُلَّ الْمَيْلِ ) hidup. Keseimbangan baru akan terbentuk dalam kehidupan jika manusia mampu memahami kedudukan dan peranan dirinya dalam konstelasi kehidupan yang ada disekelilingnya. Termasuk kedudukan dan peranan dirinya sebagai lelaki dan suami di antara istri-istrinya. Poligami adalah salah satu mekanisme terjadinya transformasi pemahaman tersebut secara nyata (real dan aplikatif). Hal ini disebabkan, masing masing pihak, baik suami maupun istri-istri melibatkan dirinya dalam proses tersebut secara langsung dan terbuka. Dan peranan ini hanya bisa ditegakkan oleh suami yang tahu akan kedudukan dirinya sebagai “الرِّجَالُ قَوَّامُونَ عَلَى النِّسَاءِ”; Qs.An Nisa (4): 34. Oleh karena itu, poligami seharusnya dijadikan oleh suami untuk melatih keseimbangan jiwanya dalam masalah menuangkan perasaan cintanya terhadap manusia (baca: para isteri). Demikian halnya dengan istri, semestinya poligami dijadikan sebagai sarana menyeimbangkan jiwanya antara hubungan dirinya terhadap manusia lain (baca: Suami) dengan hubungannya terhadap Allah SWT.

Jika suami tidak bisa membuat keseimbangan hubungan di antara para isterinya, maka ia termasuk dari suami yang disebutkan oleh Rasulullah Saw dalam haditsnya berikut ini:”Barangsiapa yang mengawini dua perempuan,sedangkan ia tidak bisa berbuat adil kepada keduanya, pada hari akhirat nanti separuh tubuhny akan lepas dan terputus”. (Jami’ul Ushul, Juz XII,168 hadits no.9049).

3. Prinsip ketiga adalah menciptakan keMaslahatan (وَإِنْ تُصْلِحُوا). Poligami baru bisa terlaksana dengan baik dan benar sesuai dengan kaidah syar’I jika setiap pelakunya memahami dengan benar fungsi dan dan kedudukan pernikahan dalam kehidupan. Fungsi pernikahan disamping sebagai media rekreasi (kesenangan; kebahagiaan) juga prokreasi (melanjutkan keturunan yang suci). Demikian halnya dengan kedudukannya sebagai “cara halal memenuhi kebutuhan jiwa”, Keduanya dapat berjalan seimbang jika berada dalam ‘ikatan yang suci’ oleh ‘orang orang yang berorientasi kepada kesucian’ (وَنَفْسٍ وَمَا سَوَّاهَا (7) فَأَلْهَمَهَا فُجُورَهَا وَتَقْوَاهَا (8) قَدْ أَفْلَحَ مَنْ زَكَّاهَا (9) وَقَدْ خَابَ مَنْ دَسَّاهَا (10) );Qs. Asy Syams (91):7-10. Sebaliknya, pernikahan apapun (monogami maupun poligami) hanya akan menimbulkan “Mafsadaat” jika dilakukan semata mata berdasarkan kebutuhan ’pemuasan nafsu’ (Qs.4:25 dan Qs.5:5 مُحْصِنِينَ غَيْرَ مُسَافِحِينَ وَلَا مُتَّخِذِي أَخْدَانٍ, ) saja. Oleh karena itu, menjadikan “rusaknya hubungan antar istri-istri” sebagai alasan untuk menolak syari’at poligami, Terlebih lagi, penolakan tersebut menggunakan kaidah keagamaan, seperti kaidah fiqih “Dar’ul mafasid muqaddamun ’ala jalbil mashalih; menolak kerusakan lebih didahulukan daripada memperoleh kemashlahatan” adalah pendapat yang bathil dan dapat menjadikan dirinya jatuh ke dalam kekufuran. Hal ini disebabkan telah qath’inya syari’at poligami. Sedangkan penetapan suatu syari’at bukan didasarkan pada pertimbangan akal (Al Ahkam as sam’iyah laa tudraaku bil ‘aqli; Imam Ghazali dalam Al Mushtashfa min ‘ilmi al Ushul juz I/127), melainkan didasarkan ada tidaknya penetapan dari Allah SWT. Pertimbangan akal baru digunakan, jika tidak ada dalil yang qath’I. Penetapan syari’at yang seperti itu dilakukan dengan jalan ijtihad.

Dengan demikian, dapatlah dipahami, jika ditemukan adanya hubungan rumah tangga yang rusak dalam pernikahan poligami, bukan poligaminya yang ditolak (apalagi dikufuri syari’atnya), akan tetapi pelaku poligaminya-lah yang harus diluruskan dan diberi sanksi (ta’zir). Jangan karena AC mobil yang rusak, lalu mobilnya ikut direparasi atau di jual. Yang direparasi cukuplah AC-nya saja. Kalau tidak bisa, ya dibuang atau di jual. Gitu aja repot….

Dilihat dari sejarahnya, adanya penolakan poligami di Negara Negara Islam adalah setelah masuknya penjajah barat ke Negara Negara Islam. Mereka tidak hanya datang untuk merampok sumber daya alamnya, tetapi juga merusak pola fikir masyarakatnya (Ghazwul fikri) demi menciptakan pendukung kekuasaannya yang dapat melanggengkan penjajahannya. Salah satu ghozwul fikri yang disebarkan adalah menghancurkan institusi keluarga muslim dan menggantinya dengan model institusi keluarga kaum penjajah yang kufur dengan cara memburuk-burukkan pelaku poligami dan menganggap biasa penikmat hubungan seksual di luar nikah; Menjadikan hubungan seksual di luar nikah sebagai bagian dari hak azasi manusia yang baru bisa dipidanakan jika adanya pengaduan dari salah satu pihak yang dirugikan. Baik , pihak pengadunya adalah wanitanya yang ditinggal kawin oleh laki laki yang menzinainya, maupun suami/ istri ataupun orangtua salah satu pihak yang merasa dirugikan oleh perbuatan zina tersebut. Akibat ghazwul fikri tersebut, institusi rumah tangga muslim menjadi rusak dan berkembang biaknya anak anak hasil perzinaan. Naudzubillah min dzalik. Sayangnya, kebanyakan muslim telah menjadi korban dari serangan ghazwul fikri ini. lalu, bagaimana dengan anda…? Tahukah anda….bahwa 75 % anak-anak Ingris adalah anak zina. 31 % masyarakat Amerika yang sudah berumah tangga melakukan hubungan seksual dengan pasangan lainya, dan mayoritas masyarakatnya (62 %) berpendirian bahwa hubungan seksual dengan pasangan lain (suami / istri orang) adalah sah-sah saja. (Lihat James Patterson & Peter Kim, The Day American Told The Truth, New York; Plume Book, 1991. Dikutip dari tulisan M.Shiddiq al Jawi dalam “Mendudukkan Poligami Dalam Islam: Tinjauan Historis, Politis, Dan Normatif”). Dan model keluarga kafir inilah yang sedang dipaksakan terjadi di negeri ini melalui perluasan berlakunya UU No.1/1974,PP 10/1983 dan PP.45/1990 dari PNS,TNI dan POLRI menjadi seluruh masyarakat.

4. Prinsip ke-empat (terakhir) adalah keTaqwaan” (َتَتَّقُوا); yang berarti menjaga dan memelihara masing masing pihak dari adzabnya Allah yang timbul dari adanya kecenderungan seksual yang menyimpang. Poligami adalah solusi halal dan barokah bagi lelaki yang secara fitrah diberikan kecenderungan menyukai lebih dari seorang wanita yang menjadi teman hidupnya. Poligami juga menjadi solusi bagi wanita wanita yang sulit menemukan pasangan (lelaki) yang dapat dipercaya menjadi mitranya menuju dan mempertahankan kesholihan-nya. Jika, pernikahan adalah setengah dari urusan agama dan setengahnya lain adalah bertaqwa, mengapa banyak wanita muslimah yang lebih suka menjalani hidup ‘SETENGAH AGAMA’ hanya karena faktor ‘merasa malu menjadi istri ke-2, dst….’ Dari lelaki yang dapat mendukung dan menemani kesholihannya. Padahal fitrah manusia adalah hidup bersama dalam naungan syari’atullah…! Padahal dengan menjalani ‘KEHIDUPAN SETENGAH’ ia berada dalam aneka macam ancaman kehidupan yang dapat membuatnya jatuh ke dalam kekufuran…… Ingatlah, siapapun anda, tidak ada hubungan kemanusiaan yang memiliki banyak keberkahan dan mengikat keimanan dan ketaqwaan seseorang melainkan hubungan yang terjalin dari hubungan pernikahan. Suami dengan istri, orangtua dengan anak dan anak dengan orangtuanya. Hubungan pertemanan, bahkan, kekerabatan sekalipun tidak memiliki keberkahan sebanyak keberkahan yang timbul dari hubungan pernikahan. Jadi, mengapa harus malu berpoligami…..

PENUTUP

Pada prinsipnya, setiap syari’atullah yang ditetapkan berlaku dalam kehidupan manusia pastilah untuk kemaslahatan dan kemudahan hidup manusia. Jika hari ini banyak orang yang merasa terbebani dengan aturan Allah SWT, maka itu bukan disebabkan tidak benarnya aturan tersebut (menganggap aturan Allah tidak benar adalah kufur), melainkan lebih disebabkan oleh terlalu beratnya beban hati manusianya.

Akhirnya, marilah kita renungkan penjelasan Allah SWT dalam Qs. An Nuur (24): 47-51 berikut:

لَقَدْ أَنْزَلْنَا آَيَاتٍ مُبَيِّنَاتٍ وَاللَّهُ يَهْدِي مَنْ يَشَاءُ إِلَى صِرَاطٍ مُسْتَقِيمٍ (46) وَيَقُولُونَ آَمَنَّا بِاللَّهِ وَبِالرَّسُولِ وَأَطَعْنَا ثُمَّ يَتَوَلَّى فَرِيقٌ مِنْهُمْ مِنْ بَعْدِ ذَلِكَ وَمَا أُولَئِكَ بِالْمُؤْمِنِينَ (47) وَإِذَا دُعُوا إِلَى اللَّهِ وَرَسُولِهِ لِيَحْكُمَ بَيْنَهُمْ إِذَا فَرِيقٌ مِنْهُمْ مُعْرِضُونَ (48) وَإِنْ يَكُنْ لَهُمُ الْحَقُّ يَأْتُوا إِلَيْهِ مُذْعِنِينَ (49) أَفِي قُلُوبِهِمْ مَرَضٌ أَمِ ارْتَابُوا أَمْ يَخَافُونَ أَنْ يَحِيفَ اللَّهُ عَلَيْهِمْ وَرَسُولُهُ بَلْ أُولَئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ (50) إِنَّمَا كَانَ قَوْلَ الْمُؤْمِنِينَ إِذَا دُعُوا إِلَى اللَّهِ وَرَسُولِهِ لِيَحْكُمَ بَيْنَهُمْ أَنْ يَقُولُوا سَمِعْنَا وَأَطَعْنَا وَأُولَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ (51)

Dan mereka berkata: "Kami telah beriman kepada Allah dan rasul, dan Kami mentaati (keduanya)." kemudian sebagian dari mereka berpaling sesudah itu, sekali-kali mereka itu bukanlah orang-orang yang beriman. Dan apabila mereka dipanggil kepada Allah dan Rasul-Nya, agar Rasul menghukum (mengadili) di antara mereka, tiba-tiba sebagian dari mereka menolak untuk datang. Tetapi jika keputusan itu untuk (kemaslahatan) mereka, mereka datang kepada Rasul dengan patuh. Apakah (ketidak datangan mereka itu karena) dalam hati mereka ada penyakit, atau (karena) mereka ragu-ragu ataukah (karena) takut kalau-kalau Allah dan Rasul-Nya Berlaku zalim kepada mereka? sebenarnya, mereka Itulah orang-orang yang zalim. Sesungguhnya jawaban oran-orang mukmin, bila mereka dipanggil kepada Allah dan Rasul-Nya agar Rasul menghukum (mengadili) di antara mereka ialah ucapan. "Kami mendengar, dan Kami patuh". dan mereka Itulah orang-orang yang beruntung.

Semoga, dengan ayat penutup ini, setiap diri dapat mengambil pelajaran sekaligus dapat menuntun diri untuk senantiasa patuh dan tunduk kepada setiap ketentuan yang telah Allah SWT berlakukan dalam kehidupan ini. Bahwa dalam ketentuan tersebut ada sesuatu yang tidak kita sepakati, hendaknya tidaklah menjadikan kita menolak apalagi mengingkarinya. Sungguh, dengan setiap ketentuan tersebut berlaku demi kemudahan hidup manusia itu sendiri (يُرِيدُ اللَّهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلَا يُرِيدُ بِكُمُ الْعُسْرَ).

Walhamdulillahirabbil ‘Aalamin.

Citayam, 29 Dzulhijjah 1429 H.

Akhukum Fillah: Miftahudin

Tidak ada komentar: