Jumat, 05 Desember 2008

Memahami Masalah Ketidak-tahuan Manusia

Bismillahirrahmaanirrahim

MEMAHAMI MASALAH KETIDAK-TAHUAN MANUSIA

Muqoddimah:

Salah satu istilah yang digunakan oleh al Quran dalam menjelaskan orang yang tidak tahu adalah “JAHIL”. Sedangkan sesuatu yang disandarkan kepada amaliah jahil disebut “JAHILIYAH”.

Ada dua kondisi yang menjadikan seseorang disebut “Jahil”, yaitu:

1. Jahil karena tiadanya ilmu, seperti Jahilnya sekelompok muslim yang berada dalam pasukan islam yang sedang menuju suku Hawazin di Hunain th ke-8 Hijriah. Kebodohan ini berkaitan dengan masalah yang bertentangan dengan tauhid rububiyah, yaitu masalah “Dzatu Anwath”, sebagaimana yang disebutkan dalam tafsir Qs. Al A’raf (7): 138.

2. Jahil karena bertentangannya perilaku diri dengan ilmu yang ada. Model perilaku jahil ini seperti perilakunya kaum nabi Luth as yang melakukan penyimpangan seksual, sebagaimana dijelaskan dalam Qs. An Naml (27):55.

Penjelasan:

Kedua model kejahilan di atas, memiliki dampak yang berbeda bagi para pelakunya. Jika orang jahil yang pertama memiliki potensi untuk diterima taubatnya (Qs.4:17 dan Qs.6:54), sedangkan jahil kedua berpotensi menjerumuskan pelakunya kepada perilaku yang lebih rusak, yaitu perilaku yang masuk dalam dua kategori, yaitu: “Dzalim” dan “Kufur”.

Perbedaan antara perilaku dzalim dengan kufur adalah, jika orang tersebut berdasarkan keilmuan yang dimilikinya menyadarkan dirinya adanya kewajiban diri untuk mengikuti kebenaran, kesadaran tersebut membuahkan pengakuan (iman) yang karena suatu hal dirinya melakukan tindakan yang bertentangan dengan kebenaran tersebut, maka ini dikategorikan dzalim, seperti ibroh dari penjelasan Qs. 4:97-99. Sedangkan jika berdasarkan keilmuan yang dimilikinya menyadarkan dirinya untuk mengikuti kebenaran tersebut tetapi ia menolak dengan keras karena adanya ketidak sesuaian kebenaran tersebut dengan dorongan seleranya (hawa nafsunya), seperti yang disebutkan dalam Qs. 28:50, maka perilaku tersebut dapat dikategorikan kufur, hal ini sebagaimana dijelaskan oleh Allah dalam Qs. 2:89-90.

Jika ketiadaan kemampuan yang dapat digunakan untuk melepaskan diri dari kedzaliman, maka orang jahil dzalim seperti ini masih memiliki harapan untuk dima’afkan oleh Allah SWT, sebagaimana ibroh Qs.4:98-99 dan Qs. 9:102. Sedangkan, jika ia menyerah kepada keadaan diri, tidak mau berusaha, merelakan diri berada dalam kedzaliman, maka itu dapat menjerumuskan dirinya kedalam neraka, sebagaimana ibroh Qs.4:97.

Menyerah terhadap keadaan tanpa melakukan upaya penyelamatan, dinamakan “Ittikal”, sedangkan menghadapi keadaan dengan ikhtiar dan do’a disebut “Tawakkal”. Jika tawakkal diharuskan untuk dijalani, sedangkan ittikal harus dijauhkan sebagaimana diterangkan dalam hadits berikut:

عَنْ سَعْدِ بْنِ عُبَيْدَةَ عَنْ أَبِي عَبْدِ الرَّحْمَنِ السُّلَمِيِّ عَنْ عَلِيٍّ قَالَ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ذَاتَ يَوْمٍ جَالِسًا وَفِي يَدِهِ عُودٌ يَنْكُتُ بِهِ فَرَفَعَ رَأْسَهُ فَقَالَ مَا مِنْكُمْ مِنْ نَفْسٍ إِلَّا وَقَدْ عُلِمَ مَنْزِلُهَا مِنْ الْجَنَّةِ وَالنَّارِ قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ فَلِمَ نَعْمَلُ أَفَلَا نَتَّكِلُ قَالَ لَا اعْمَلُوا فَكُلٌّ مُيَسَّرٌ لِمَا خُلِقَ لَهُ ثُمَّ قَرَأَ { فَأَمَّا مَنْ أَعْطَى وَاتَّقَى وَصَدَّقَ بِالْحُسْنَى إِلَى قَوْلِهِ فَسَنُيَسِّرُهُ لِلْعُسْرَى }

Dari sahabat Ali bin tholib ra., berkata: “Suatu hari Rasulullah Saw duduk ditengah para sahabatnya, sambil jari tangannya mencocok-cocokkan potongan dahan dari kayu gaharu ke tanah. Lalu, beliau mengangkat kepalanya sambil berkata: “Tidak ada satupun jiwa kecuali ia telah diketahui tempat turunnya dari Surga dan Neraka. Para sahabat bertanya: “Wahai rasul, (jika demikian adanya) maka untuk apa kita beramal, dan mengapa kita tidak menyerah saja (kepada keputusan ini)?. Beliau menjawab: “Janganlah (kalian bersikap demikian), (akan tetapi) beramallah, karena setiap jiwa diberikan kemudahan untuk mendapatkan apa yang telah diciptakan baginya”. Kemudian, beliau membaca Qs. Al Lail (92): 5-10. HR. Imam Muslim dalam Shohihnya, no:4787. Hadits serupa juga ditahrij oleh Buhori dalam Kitab Shohihnya, no. 6997).

Menyerah kepada keadaan tanpa disertai usaha, oleh Allah SWT dalam Qs. Yusuf (12): 87 ; 15: 56-57; Qs.39: 53, disebut sebagai perilaku “putus asa” atau “Qunuth”.

Sedangkan perilaku kufur yang timbul dari kejahilan ini ditandai oleh perilaku berikut ini, yaitu:

1. Penolakan dan pengingkaran atas nasihat dalam bentuk perilaku yang kasar, sebagaimana jawaban kaum Luth as yang diterangkan dalam Qs. An Naml (27): 56.

2. Upaya mempertahankan perilaku kufur yang dalam Qs. Ibrahim (14): 3, direfleksikan dalam bentuk:

a. Menjadikan materi Sebagai tolok ukur kebenaran (Yastahabbuunal hayaatad dunya ‘alal akhirat),

b. Mobilisasi / penggalangan massa guna mendukung keingkarannya melalui upaya boikotisasi atau penjegalan orang ke jalan yang lebih baik (Yasudduuna ‘an sabilillah),

c. Menzaharkan dan membanggakan perilaku menyimpang melalui aneka promosi dan sosialisasi. Kebanggaan seperti ini terjadi tanpa disadari oleh pelakunya, karena accesoris yang melekat kepadanya membuat orang tersanjung. Seperti, modern, gaul dan idola.

Aktualisasi:

Dalam konteks kekinian, perbandingan antara jahil model pertama dengan model kedua tidaklah sama. Dimana, jahil model pertama lebih banyak dari model jahil kedua. Hanya saja, ditinjau dari efek buruknya terhadap keberlangsungan dienullah ini, maka jelaslah, bahwa jahil model kedua lebih berbahaya, sebagaimana dijelaskan dalam Qs. Al Jaatsiyah (45):23. Hal ini disebabkan, mereka bisa saja datang dari kelompok masyarakat terpandang karena pendidikan, kedudukan dan kekayaannya, sebagaimana yang dilakukan oleh ‘Amr bin Hisyam yang bergelar Abul Hakam, sedangkan al Quran menyebutnya dengan Abu Jahal. Hal ini, bisa dilihat dari produk aturan yang dihasilkan dari tipologi jahil kufur yaitu “Hukum Jahiliyah”, sebagaimana diterangkan dalam Qs. Al Maidah (5): 50 dengan korelasi ayat 44, 45 dan 47 sebelumnya.

Citayam, 24 November 2008,

Dzul Qo’idah 1429 H.

Tidak ada komentar: