Jumat, 05 Desember 2008

Menuju Sholat Yang Khusyu'

MENUJU SHOLAT KHUSYU

Oleh: Miftahudin el Shohafy

Pengantar

Dalam kitab Shohih Ibnu Hibban Juz 27/481, diterangkan bahwa Sahabat ‘Auf bin Malik Al Asyja’I menyaksikan Rasulullah Shollallahu ‘Alaihi Wasallam memandang ke atas langit. Lalu, beliaupun bersabda: “Ini saat hilangnya ilmu”. Seorang Sahabat Anshor yang bernama Labid bin Ziyad ra bertanya: “Wahai Rasulullah, bagaimana mungkin ilmu akan hilang sedangkan ia telah menetap dalam hati?”. Rasul menjawab: “ AKu menyangka bahwa engkau orang yang faqih di kaummu”, lalu Rasulpun menjelaskan bahwa keadaan inipun telah menimpa kaum Yahudi dan Nasrani, padahal mereka memegang kitabullah”.

Maka Jubair bin Nufair (Tabi’in) menyampaikan hadits ‘Auf bin Malik ini kepada sahabat lainnya, yaitu Syidad bin Aus ra. Ia pun membenarkannya de

ngan menambahkan penjelasan bahwa ilmu yang pertama hilang itu adalah KHUSYU, sehingga tidak lagi ditemui orang yang khusyu.

Sedangkan dalam Sunan Ad Darimi Juz 1/323, disebutkan hadits semakna dari jalan Sahabat Abu Darda ra dengan tambahan komentar yang sama dari sahabat anshor yang bernama Ziyad bin Labid (ikhtilaf penyebutan nama). Ketika masalah ini dikonfirmasikan kepada Sahabat ‘Ubadah bin Shomit ra, beliau menjawab Sebagai berikut:

لأُحَدِّثَنَّكَ بِأَوَّلِ عِلْمٍ يُرْفَعُ مِنَ النَّاسِ ، الْخُشُوعُ ، يُوشِكُ أَنْ تَدْخُلَ مَسْجِدَ الْجَمَاعَةِ فَلاَ تَرَى فِيهِ رَجُلاً خَاشِعاً

“Aku beritahukan kepadamu bahwa ilmu yang pertama diangkat dari manusia adalah KHYUSY, sampai-sampai ketika masuk masjid jami’ engkau tidak melihat seorangpun diantara mereka yang khusyu (dalam sholatnya).

Sehubungan dengan dua keterangan di atas, Sahabat Abu Khudzaifah ra , - dikutip dalam Kitab Tahdzib al Aatsar Li Ath Thobari Juz 7/71 berkata:

عن حذيفة ، قال : إن أول ما تفقدون من دينكم الخشوع ، وآخر ما تفقدون الصلاة ، ولتنقضن عرى الإسلام عروة عروة ، وليصلين النساء وهن حيض ، ولتسلكن طريق من كان قبلكم حذو القذة بالقذة ، وحذو النعل بالنعل ، لا تخطئون طريقهم ، ولا يخطأ بكم ، حتى يبقى قرن من قرون كثيرة يقولون : ما بال الصلوات الخمس ؟ لقد ضل من كان قبلنا ، قال الله تبارك وتعالى : « وأقم الصلاة طرفي النهار وزلفا من الليل » ، ثم لا يصلون إلا ثلاثا ، وتقول الأخرى : إنا لمؤمنون بالله كإيمان الملائكة ، ما فينا كافر ولا منافق ، حق على الله أن يحشرهم مع الدجال.

“Yang pertama kali hilang dari urusan agamamu (Islam) adalah KHUSYU’ sedang yang paling akhir hilang adalah sholat. Sungguh urusan agama ini akan terurai satu persatu, lalu wanita haidhpun sholat. Kalian akan menempuh jalan hidup orang sebelummu (Yahudi dan Nasrani) persis seperti mereka selangkah demi selangkah, tidak ada diantara kalian yang menyelisihinya dan tidak saling menyalahkan. Hingga pada masa itu kebanyakan manusia pada masa itu akan berkata: “Buat apa sholat”, Sungguh telah sesat orang yang sebelumnya. Merekapun memahami firman Allah dalam Qs.Hud(11):114, yaitu: “ Dirikanlah sholat pada kedua tepi siang (pagi dan sore) dan pada bagian permulaan dari pada malam…” dengan hanya melakukan sholat tiga waktu. Sedangkan sebagian muslim lainnya berkata: “Sesungguhnya kami beriman kepada Allah sebagaimana imannya para Malaikat, di antara kami tidak ada yang kafir dan munafik”. Sungguh orang seperti itu akan Allah kumpulkan dengan para Dajjal (Penipu Agama).”

Ikhwan khwat fillah rahimakumullah,

Begitu besarnya urusan khusyu dalam sholat, sampai sampai, banyak kaum muslimin merasa berat dan tak mampu untuk meraihnya. Padahal, kekhusyuan adalah penentu awal kesuksesan (al Falah) hidup seorang beriman. Ini sebagaimana disebutkan dalam Qs. Al Mu’minun (23):1-2, berikut:

قَدْ أَفْلَحَ الْمُؤْمِنُونَ (1) الَّذِينَ هُمْ فِي صَلَاتِهِمْ خَاشِعُونَ (2)

“Sesungguhnya beruntunglah orang orang yang beriman, (yaitu) orang orang yang khusyu’ dalam sholatnya”.

Jika demikian, kenapa khusyu susah diraih dalam keseharian ibadah sholat kita? Tiada lain, karena banyak diantara kita yang sebenarnya tidak tahu –makhluk sejenis apakah- KHUSYU’ itu?. Padahal, jika kita kembali menela’ah beberapa penjelasan hadits di atas, KHUSYU’ adalah bagian dari ilmu. Karena itu, khusyu tidak akan didapat jika cara mendapatkannya tidak melalui proses yang biasa ditempuh dalam mencari suatu ilmu.

Makna Sholat Khusyu’

Secara bahasa (lughotan) khusyu berarti: “tunduk dan khidmat” (Al Munawwir,368). Dalam Tafsir At Thobari Juz 19/694, disebutkan bahwa yang dimaksud dengan khusyu dalam Qs.23:2

وقوله:( الَّذِينَ هُمْ فِي صَلاتِهِمْ خَاشِعُونَ ) يقول تعالى ذكره: الذين هم في صَلاتهم إذا قاموا فيها خاشعون، وخشوعهم فيها تذللهم لله فيها بطاعته، وقيامهم فيها بما أمرهم بالقيام به فيها. وقيل إنها نزلت من أجل أن القوم كانوا يرفعون أبصارهم فيها إلى السماء قبل نزولها، فنُهُوا بهذه الآية عن ذلك.

Yang berarti, khusyu adalah penghinaan diri manusia kepada Allah melalui ketha’atan dirinya kepada perintahNya; sehingga berdirinya mereka dalam sholat-pun tiada lain karena ketha’atan akan perintahNya. (Ingat asal ibadah adalah haram kecuali adanya perintah dan contoh).

Ibnu Katsir dalam tafsirnya Juz 2/193, beliau menafsirkan kata khusyu dalam Qs.3:199 sebagai berikut:

{ وَإِنَّ مِنْ أَهْلِ الْكِتَابِ لَمَنْ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَمَا أُنزلَ إِلَيْكُمْ وَمَا أُنزلَ إِلَيْهِمْ خَاشِعِينَ لِلَّهِ لا يَشْتَرُونَ بِآيَاتِ اللَّهِ ثَمَنًا قَلِيلا أُولَئِكَ لَهُمْ أَجْرُهُمْ عِنْدَ رَبِّهِمْ إِنَّ اللَّهَ سَرِيعُ الْحِسَابِ (199) يخبرُ تعالى عن طائفة من أهل الكتاب أنهم يؤمنون بالله حق الإيمان، وبما أنزل على محمد، مع ما هم يؤمنون به من الكتب المتقدمة، وأنهم خاشعون لله، أي: مطيعون له خاضعون متذللون بين يديه،

Khusyu dalam konteks ayat ini diartikan dengan ketha’atan seseorang kepada Allah dan merendahkan diri dengan penuh kehinaan dihadapanNya.

Sedangkan ketika menafsirkan Qs.23:2, beliau menjelaskan Sebagai berikut:

{ الَّذِينَ هُمْ فِي صَلاتِهِمْ خَاشِعُونَ } " قال علي بن أبي طلحة، عن ابن عباس: { خَاشِعُونَ } : خائفون ساكنون. وكذا روي عن مجاهد، والحسن، وقتادة، والزهري (1) .وعن علي بن أبي طالب، رَضِي الله عنه: الخشوعُ: خشوعُ القلبِ. وكذا قال إبراهيم النخعي.وقال الحسن البصري: كان خشوعهم في قلوبهم، فغضوا بذلك أبصارهم، وخفضوا الجناح.وقال محمد بن سيرين: كان أصحاب رسول الله صلى الله عليه وسلم يرفعون أبصارهم إلى السماء في الصلاة، فلما نزلت هذه الآية: { قَدْ أَفْلَحَ الْمُؤْمِنُونَ . الَّذِينَ هُمْ فِي صَلاتِهِمْ خَاشِعُونَ } خفضوا أبصارهم إلى موضع سجودهم.[و] (2) قال ابن سيرين: وكانوا يقولون: لا يجاوز بصره مُصَلاه، فإن كان قد اعتاد النظر فَلْيُغْمِضْ. رواه ابن جرير وابن أبي حاتم.ثم رَوَى (3) ابن جرير عنه، وعن عطاء بن أبي رَبَاح أيضًا مرسلا أن رسول الله صلى الله عليه وسلم كان يفعل ذلك، حتى نزلت هذه الآية.والخشوع في الصلاة إنما يحصل بمن فَرَّغ قلبه لها، واشتغل بها عما عداها، وآثرها على غيرها، وحينئذ تكون راحة له وقُرَّة عين، كما قال النبي صلى الله عليه وسلم، في الحديث الذي رواه الإمام أحمد والنسائي، عن أنس، عن رسول الله صلى الله عليه وسلم أنه قال: "حُبِّبَ إليَّ الطِّيب والنساء، وجعلت قرة عيني في الصلاة" (4) . وقال الإمام أحمد: حدثنا وَكِيع، حدثنا مِسْعَر، عن عمرو بن مُرَّة، عن سالم بن أبي الجَعْد،عن رجل من أسلَم، أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال: "يا بلال، أرحنا بالصلاة" (5) .

__________

(1) في ف، أ: "والزهري وقتادة". (2) زيادة من أ. (3) في أ: "ورواه". (4) المسند (3/128) وسنن النسائي (6117).(5) المسند (5/364).

Berdasarkan penjelasan tafsir di atas, ada beberapa makna yang berkaitan dengan khusyu. Ali bin Abi Thalhah dari ibnu Abbas mengatakan bahwa khusyu adalah : takut dan diam; diamnya seseorang karena takutnya kepada Allah SWT. Keterangan ini diriwayatkan oleh Zuhri,Qatadah,Hasan dan Mujahid. Sedangkan Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan khusyu’ adalah : khusyunya hati. Ini sebagaimana diriwayatkan oleh Ibrahim an Nakho’i. Adapun Hasan Al Basri menjelaskan bahwa khusyu itu adanya di hati yang menyebabkan terkendalinya pandangan (mata) ketika sholat dan tunduknya sebagian dari bagian atas tubuh manusia.

Menurut Muhammad bin Sirin, ayat ke 2 surat Al Mu’minuun ini diturunkan berkaitan dengan adanya kebiasaan sahabat yang suka mengangkat pandangannya ke atas langit di saat sholat. Karena itu, dengan turunnya ayat ini, maka pandangan mata di saat sholat dibatasi tidak boleh melebihi batas (sutroh) tempat sujudnya.

Akhirnya, menurut ibnu Katsir bahwa khusyu dalam sholat dihasilkan dari kelapangan hati yang sibuk dengan seluruh amaliah sholat dan tidak memperdulikan selainnya. Sehingga, sholat baginya adalah sesuatu yang menenangkan jiwa (relaxation) dan saat yang dirindukan (dinanti nanti). Pendapat ini didasarkan atas suatu hadits imam Ahmad dari sahabat Anas bin Malik yang menerangkan bahwa Rasulullah Saw bersabda: “Dijadikan kecintaan bagiku, yaitu wangi-wangian dan istri. Sedangkan sholat menjadi pelipur hati-ku”. (Musnad Ahmad dan Sunan An Nasa-i).

Menciptakan Khusyu' Dalam Sholat

Khusyu dalam sholat terbentuk karena berkonsentrasinya empat hal, yaitu: Gerakan, ketenangan (Thuma’ninah), Bacaan dan pemahaman dalam suatu mekanisme yang menghantarkan pelakunya kepada situasi ‘munajat’ dengan Allah SWT dalam suasana pengagungan sekaligus penghinaan diri kepadaNya.

Sehubungan dengan penjelasan di atas, maka khusyu dapat digambarkan dalam bentuk skema berikut ini:

Keempat hal diatas akan terkonsentrasi dalam diri manusia jika ia membekalinya dengan ilmu dan Mahabbah ; kecintaan kepada Allah dan RasulNya. Kecintaan kepada Allah dapat menuntunnya menikmati suasana sholat Sebagai suasana penyegaran jiwa. Dimana pada saat sholat, jiwa dihadapkan sehadap hadapnya kepada Pemilknya, yaitu Rabbul ‘Aalamin; Wajjahtu Wajhiya Lilladzi Fathoros Samaawati Wal Ardhi Haniifan Musliman Wama Anaa Minal Musyrikiin….

Sedangkan kecintaan kepada Rasulullah Shollalahu ‘Alaihi Wasallam menuntunnya untuk senantiasa meneladani seluruh aktifitas yang berkaitan dengan amaliah sholatnya Rasul baik dalam hal bacaannya maupun gerakannya.

1. Gerakan Sholat

Ukuran pertama ada tidaknya khusyu dalam sholat adalah gerakan. Unsur gerakan menjadi factor pertama utama dikarenakan ia satu satunya unsur dzahiri yang langsung dapat dilihat dan dikenali sholatnya seorang musholli. Karena itu, gerakan sholat tidaklah boleh dilakukan asal-asalan. Melainkan harus berdasarkan teladan dari Rasul, sebagaimana disebutkan dalam hadits yang terdapat dalam Musnad Asy Syafi’I Juz I/223, berikut ini:

أبو سليمان مالك بن الحويرث رضي الله عنه قال : قال لنا رسول الله صلى الله عليه وسلم : « صلوا كما رأيتموني أصلي ، فإذا حضرت الصلاة فليؤذن لكم أحدكم وليؤمكم أكبركم »

Abu Sulaiman bin alHuwairits radhiyallalhu ‘anhu berkata: Telah berkata kepada kami Rasulullah Shollallahu ‘Alaihi Wasallam, “Sholatlah kalian sebagaimana kalian melihat (Melihat dengan ilmu/Red) sholat-ku. Dan jika telah tiba waktu sholat, hendaklah salah seorang diantaramu adzan. Dan hendaklah orang yang paling besar di antaramu menjadi imam atas yang lainnya”. Lihat dalam Ma’rifatus Sunan wal Aatsar Lil Baihaqy Juz III/456.

Adapun gerakan sholat yang dimaksud meliputi:

a. Berdiri

Berdiri dalam sholat diterangkan dalam hadits beriku ini:

فَقَالَ صَلِّ قَائِمًا فَإِنْ لَمْ تَسْتَطِعْ فَقَاعِدًا فَإِنْ لَمْ تَسْتَطِعْ فَعَلَى جَنْبٍ.

Rasulullah bersabda: “Sholatlah dalam keadaan berdiri, jika tidak mampu, maka sholatlah dengan keadaan duduk. Jika tidak mampu maka sholatlah dalam keadaan berbaring”. HR. Buhori ,No. 1050,Juz 4/273. Perintah berdiri telah dijelaskan dalam Qs.2/238 dan Qs.2/144.

Adapun keadaan badan saat berdiri haruslah dalam keadaan tegak menghadap kiblat, tidak condong ke depan ataupun ke belakang, sebagaimana disimpulkan dari beberapa lafadz yang terkandung dari hadits-hadits berikut ini, seperti dalam Shohih Buhori (715),Juz 3/205; Muslim (602) Juz 2/356:

فَقَالَ إِذَا قُمْتَ إِلَى الصَّلَاةِ فَكَبِّرْ ثُمَّ اقْرَأْ مَا تَيَسَّرَ مَعَكَ مِنْ الْقُرْآنِ ثُمَّ ارْكَعْ حَتَّى تَطْمَئِنَّ رَاكِعًا ثُمَّ ارْفَعْ حَتَّى تَعْدِلَ قَائِمًا ثُمَّ اسْجُدْ حَتَّى تَطْمَئِنَّ سَاجِدًا ثُمَّ ارْفَعْ حَتَّى تَطْمَئِنَّ جَالِسًا وَافْعَلْ ذَلِكَ فِي صَلَاتِكَ كُلِّهَا

Sedangkan dalam lafadz hadits Sunan Abi Daud (730) Juz 3/25 disebutkan berikut:

فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّهُ لَا تَتِمُّ صَلَاةٌ لِأَحَدٍ مِنْ النَّاسِ حَتَّى يَتَوَضَّأَ فَيَضَعَ الْوُضُوءَ يَعْنِي مَوَاضِعَهُ ثُمَّ يُكَبِّرُ وَيَحْمَدُ اللَّهَ جَلَّ وَعَزَّ وَيُثْنِي عَلَيْهِ وَيَقْرَأُ بِمَا تَيَسَّرَ مِنْ الْقُرْآنِ ثُمَّ يَقُولُ اللَّهُ أَكْبَرُ ثُمَّ يَرْكَعُ حَتَّى تَطْمَئِنَّ مَفَاصِلُهُ ثُمَّ يَقُولُ سَمِعَ اللَّهُ لِمَنْ حَمِدَهُ حَتَّى يَسْتَوِيَ قَائِمًا ثُمَّ يَقُولُ اللَّهُ أَكْبَرُ ثُمَّ يَسْجُدُ حَتَّى تَطْمَئِنَّ مَفَاصِلُهُ ثُمَّ يَقُولُ اللَّهُ أَكْبَرُ وَيَرْفَعُ رَأْسَهُ حَتَّى يَسْتَوِيَ قَاعِدًا ثُمَّ يَقُولُ اللَّهُ أَكْبَرُ ثُمَّ يَسْجُدُ حَتَّى تَطْمَئِنَّ مَفَاصِلُهُ ثُمَّ يَرْفَعُ رَأْسَهُ فَيُكَبِّرُ فَإِذَا فَعَلَ ذَلِكَ فَقَدْ تَمَّتْ صَلَاتُهُ

Sedangkan lafadz dalam hadits Sunan at Turmudzi (278) Juz 2/9 berbunyi berikut ini:

فَقَالَ أَجَلْ إِذَا قُمْتَ إِلَى الصَّلَاةِ فَتَوَضَّأْ كَمَا أَمَرَكَ اللَّهُ ثُمَّ تَشَهَّدْ وَأَقِمْ فَإِنْ كَانَ مَعَكَ قُرْآنٌ فَاقْرَأْ وَإِلَّا فَاحْمَدْ اللَّهَ وَكَبِّرْهُ وَهَلِّلْهُ ثُمَّ ارْكَعْ فَاطْمَئِنَّ رَاكِعًا ثُمَّ اعْتَدِلْ قَائِمًا ثُمَّ اسْجُدْ فَاعْتَدِلْ سَاجِدًا ثُمَّ اجْلِسْ فَاطْمَئِنَّ جَالِسًا ثُمَّ قُمْ فَإِذَا فَعَلْتَ ذَلِكَ فَقَدْ تَمَّتْ صَلَاتُكَ وَإِنْ انْتَقَصْتَ مِنْهُ شَيْئًا انْتَقَصْتَ مِنْ صَلَاتِكَ قَالَ وَكَانَ هَذَا أَهْوَنَ عَلَيْهِمْ مِنْ الْأَوَّلِ أَنَّهُ مَنْ انْتَقَصَ مِنْ ذَلِكَ شَيْئًا انْتَقَصَ مِنْ صَلَاتِهِ وَلَمْ تَذْهَبْ كُلُّهَا

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa sifat berdirinya Rasul dalam sholat adalah “Mustawiyan” dan “Mu’tadilan”. Kedua kata tersebut jika diterjemahkan secara lughot adalah “lurus” dan “seimbang” (tidak bengkok).

Ketentuan ini berlaku dalam ibadah sholat yang dilakukan tanpa illat, seperti bukan di atas kendaraan.

b. Mengangkat kedua tangan saat takbir

Cara mengangkat kedua tangan saat takbir, baik takbirotul ihrom ataupun takbir lainnya, kecuali saat mau sujud maupun sesudah sujud adalah Sebagaimana diterangkan oleh hadits Shohih Buhori (694 ) Juz 3/173, berikut ini:

عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا قَامَ فِي الصَّلَاةِ رَفَعَ يَدَيْهِ حَتَّى يَكُونَا حَذْوَ مَنْكِبَيْهِ وَكَانَ يَفْعَلُ ذَلِكَ حِينَ يُكَبِّرُ لِلرُّكُوعِ وَيَفْعَلُ ذَلِكَ إِذَا رَفَعَ رَأْسَهُ مِنْ الرُّكُوعِ وَيَقُولُ سَمِعَ اللَّهُ لِمَنْ حَمِدَهُ وَلَا يَفْعَلُ ذَلِكَ فِي السُّجُودِ

Jika beliau telah berdiri untuk sholat, ia menganggkat kedua telapak tangannya setentang kedua bahunya. Disamping itupun, terkadang Rasulullah mengangkatnya setentang dengan ujung daun telinga sebagaimana disebutkan dalam Shohih Muslim (589), Juz 2/341 berikut:

كَانَ إِذَا كَبَّرَ رَفَعَ يَدَيْهِ حَتَّى يُحَاذِيَ بِهِمَا أُذُنَيْهِ وَإِذَا رَكَعَ رَفَعَ يَدَيْهِ حَتَّى يُحَاذِيَ بِهِمَا أُذُنَيْهِ وَإِذَا رَفَعَ رَأْسَهُ مِنْ الرُّكُوعِ فَقَالَ سَمِعَ اللَّهُ لِمَنْ حَمِدَهُ فَعَلَ مِثْلَ ذَلِكَ

Adapun cara mengangkat tangannya adalah dengan meluruskan jari jemarinya- tidak merenggangkannya, dan tidak pula menggenggamkannya dengan posisi dua jempolnya mendekati daun telinganya. Ini sebagaimana disebutkan dalam hadits Musnad Ahmad (17953) Juz 38/140 berikut:

عَن الْبَرَاءِ بْنِ عَازِبٍ قَالَ كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا كَبَّرَ رَفَعَ يَدَيْهِ حَتَّى نَرَى إِبْهَامَيْهِ قَرِيبًا مِنْ أُذُنَيْهِ

c. Meletakkan tangan kanan di atas tangan kiri sepanjang berdiri dalam sholat

Adapun posisi tangan adalah bersedekap- ketentuan ini berlaku sepanjang berdiri dalam sholat, sesudah takbirotul ihrom-, yaitu: meletakkan tangan kanan di atas tangan kiri, ini sebagaimana disebutkan dalam hadits 648 Sunan Abi Daud Juz 2/415 ,berikut ini:

عَنْ سُلَيْمَانَ بْنِ مُوسَى عَنْ طَاوُسٍ قَالَ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَضَعُ يَدَهُ الْيُمْنَى عَلَى يَدِهِ الْيُسْرَى ثُمَّ يَشُدُّ بَيْنَهُمَا عَلَى صَدْرِهِ وَهُوَ فِي الصَّلَاةِ

Muhammad Nasiruddin al Al Baani dalam buku SIFAT SHOLAT NABI hal.75 Gema Risalah Press Bandung ,menyebutkan adanya dua cara dalam bersedekap, yaitu:

1) Meletakkan tangan kanannnya di atas punggung telapak tangan kirinya, pergelangan tangannya dan lengan tangannya. HR.Abu Daud,Nasa’I dan Ibnu Huzaimah.

2) Menggenggamkan tangan kanannya ke tangan kirinya. HR. An Nasa’I dan Ad Daruquthni.

d. Ruku

Gerakan anggota badan saat ruku diterangkan dalam Ma’rifatus Sunan Wal Aatsar Lil Baihaqy Juz 3/86 berikut ini:

فقال أبو حميد الساعدي : « أنا كنت أحفظكم لصلاة رسول الله صلى الله عليه وسلم ، رأيته إذا كبر ، جعل يديه حذو منكبيه ، وإذا ركع أمكن يديه من ركبتيه ، ثم هصر ظهره ...»

“Apabila ruku, ia menekankan kedua tangannya dari lututnya, kemudian ia meratakan punggungnya”.

Tentang kaifiyat ruku ini lebih jauh dijelaskan oleh Muhammad Nasiruddin al Albani dalam bukunya SIFAT SHOLAT NABI hal 150-151, dengan beberapa rujukan hadits berikut:

إِذَا رَكَعْتَ فَضَعْ رَاحَتَيْكَ عَلَى رُكْبَتَيْكَ, ثُمَّ فَرِّجْ بَيْنَ أَصَابِعِكَ,ثُمَّ امْكُثْ حَتَّى يَأْخُذَ كُلَّ عَضْوِ مَأْخُذُهُ. رواه ابن خزيمة وابن حبّان

“Apabila kamu ruku, maka letakkanlah kedua telapak tanganmu di atas kedua lututmu. Kemudian, renggangkanlah jari jemarimu. Lalu, diamlah, sehingga setiap anggota badan mengambil bagiannya.”HR. Ibnu Khuzaimah dan Ibnu Hibbab dalam shohih keduanya.

كَانَ يُجَافِيْ وَ يُنَحِّيْ مِرْفَقَيْهِ عَنْ جَنْبَيْهِ. رواه الترمذي و صححه ابن خزيمة

“Apabila ruku, beliau menjauhkan dan membengkokkan kedua sikunya dari kedua samping badannya”. (HR. AT Tirmidzi dan dishahihkan oleh Ibnu Khuzaimah)

Adapun punggung haruslah memanjang ( وَامْدُدْ ظَهْرَكَ :HR. Ahmad dan Abu Daud), sedangkan kepala pertengahan antara tunduk dan mengangkat ( لاَ يَصُبُّ رَأْسَهُ وَلاَ يَقْنَعُ :HR.Buhori Muslim dan Abu Daud)

e. Keadaan badan sesudah bangun dari ruku (I’tidal) disebutkan dalam hadits Ibnu Syaibah 1/266 adalah berdiri lama dengan keadaan “mustawa” dan ” mu’tadil”.

حدثنا هشيم قال أنا عبد الحميد بن جعفر الانصاري عن محمد بن عمرو بن عطاء القرشي قال رأيت أبا حميد الساعدي مع عشرة رهط من أصحاب النبي صلى الله عليه وسلم فقال ألا أحدثكم عن صلاة النبي صلى الله عليه وسلم قالوا هات قال فرأيته إذا كبر عند فاتحة الصلاة رفع يديه وإذا ركع رفع يديه وإذا رفع رأسه من الركوع رفع يديه ثم يمكث قائما حتى يقع كل عظم في موضعه ثم يهبط ساجدا ويكبر.

Adapun posisi kedua tangan, jika merujuk kepada keumuman dalil saat berdiri adalah bersedekap seperti dalam keadaan membaca surat. Tentang bersedekap di saat I’tidal disamping telah diterangkan oleh Dr.Sa’id bin ‘Ali bin Wahf Al Qahthani dalam bukunya Sholatul Mu’min yang dalam terjemahan berjudul “ENSIKLOPEDI SHOLAT” Juz I/291, Pustaka Imam Asy Syafi’I, juga dianjurkan oleh Syaikh Abdul Aziz bib Baz.

(Bersedekap saat I’tidal bagian dari masalah khilafiyah, yang memungkinkan orang lain berbeda pendapat tentangnya. Di antaranya ,DR. Muhammad bin Umar Bazamul sebagaimana dalam bukunya ENSIKLOPEDI TARJIH hal.283 Darus Sunah).

f. Gerakan Turun dan Bangun Dari Sujud

Ada dua hadits yang berbeda dalam hal menjelaskan kaifiyat turun dan bangun untk sujud yang pernah dilakukan oleh Rasulullah SAW. Kedua keterangan hadits tersebut berasal dari sahabat Abu Hurairoh dan Wail bin Hujur. Adapun dua hadits tersebut adalah Sebagai berikut:

1) Hadits yang menjelaskan keharusan meletakkan tangan terlebih dahulu baru kemudian lutut,sebagaimana yang terdapat dalam Sunan Abu Daud (714) Juz 3/2 dan atsar sahabat Ibnu Umar di Shohih Buhori Juz 3/282.

حَدَّثَنَا سَعِيدُ بْنُ مَنْصُورٍ حَدَّثَنَا عَبْدُ الْعَزِيزِ بْنُ مُحَمَّدٍ حَدَّثَنِي مُحَمَّدُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ حَسَنٍ عَنْ أَبِي الزِّنَادِ عَنْ الْأَعْرَجِ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا سَجَدَ أَحَدُكُمْ فَلَا يَبْرُكْ كَمَا يَبْرُكُ الْبَعِيرُ وَلْيَضَعْ يَدَيْهِ قَبْلَ رُكْبَتَيْهِ

2) Hadits yang menjelaskan keharusan meletakkan lutut terlebih dahulu baru kemudian tangan,sebagaimana yang terdapat dalam SUnan Abi Daud (713), Juz 3/1; Sunan At Turmudzi (248) Juz I/452, An Nasa’I (1077), Juz 4/248, Ibnu Majah(872) Juz 3/123 dan Ibnu Syaibah Juz I/294.,Shohih Ibnu Hibban (1946) Juz 8/314 dan Shohih Ibnu Khuzaimah Juz 3/25.

حَدَّثَنَا الْحَسَنُ بْنُ عَلِيٍّ وَحُسَيْنُ بْنُ عِيسَى قَالَا حَدَّثَنَا يَزِيدُ بْنُ هَارُونَ أَخْبَرَنَا شَرِيكٌ عَنْ عَاصِمِ بْنِ كُلَيْبٍ عَنْ أَبِيهِ عَنْ وَائِلِ بْنِ حُجْرٍ قَالَ رَأَيْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا سَجَدَ وَضَعَ رُكْبَتَيْهِ قَبْلَ يَدَيْهِ وَإِذَا نَهَضَ رَفَعَ يَدَيْهِ قَبْلَ رُكْبَتَيْهِ حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ مَعْمَرٍ حَدَّثَنَا حَجَّاجُ بْنُ مِنْهَالٍ حَدَّثَنَا هَمَّامٌ حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ جُحَادَةَ عَنْ عَبْدِ الْجَبَّارِ بْنِ وَائِلٍ عَنْ أَبِيهِ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَذَكَرَ حَدِيثَ الصَّلَاةِ قَالَ فَلَمَّا سَجَدَ وَقَعَتَا رُكْبَتَاهُ إِلَى الْأَرْضِ قَبْلَ أَنْ تَقَعَ كَفَّاهُ قَالَ هَمَّامٌ وَحَدَّثَنِي شَقِيقٌ قَالَ حَدَّثَنِي عَاصِمُ بْنُ كُلَيْبٍ عَنْ أَبِيهِ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِمِثْلِ هَذَا وَفِي حَدِيثِ أَحَدِهِمَا وَأَكْبَرُ عِلْمِي أَنَّهُ فِي حَدِيثِ مُحَمَّدِ بْنِ جُحَادَةَ وَإِذَا نَهَضَ نَهَضَ عَلَى رُكْبَتَيْهِ وَاعْتَمَدَ عَلَى فَخِذِهِ.

DR. Muhammad bin Umar bin Salim Bazamul dalam ENSIKLOPEDI TARJIH Masalah Sholat dan Thoharoh dari halaman 283 – 303 menjelaskan beberapa aspek yang diperselisihkan dalam dua keterangan di atas. Beliau menyimpulkan, bahwa dua duanya bisa dijadikan rujukan dikarenakan adanya perbedaan atsar yang shohih, seperti atsar yang menyebutkan bahwa sahabat Umar bin Khottob ra dan Abdullah bin Mas’ud ra yang selalu mendahulukan lutut sebelum tangan di saat sujud. Sedangkan atsar yang menyebutkan tangan dahulu sebelum lutut datangnya dari Abdullah bin Umar.

Hanya saja, untuk pribadi –penyusun (al Akh Miftahudin), lebih menyukai ikut keterangan kedua (lutut baru tangan) disebabkan adanya keterangan shohih dalam Sunan Abi Daud (758) Juz 3/61,juga Al Mustadrok Lil Hakim (786), Juz 2/339 - yang menjelaskan tentang karakter sujudnya tangan sama dengan sujudnya wajah. Jika wajah akan diletakkan untuk sujud, maka letakkan pula tangan. Jika wajah di angkat, maka angkatlah kedua tangan dari tempat sujud- berikut ini:

حَدَّثَنَا أَحْمَدُ بْنُ حَنْبَلٍ حَدَّثَنَا إِسْمَعِيلُ يَعْنِي ابْنَ إِبْرَاهِيمَ عَنْ أَيُّوبَ عَنْ نَافِعٍ عَنْ ابْنِ عُمَرَ رَفَعَهُ قَالَ إِنَّ الْيَدَيْنِ تَسْجُدَانِ كَمَا يَسْجُدُ الْوَجْهُ فَإِذَا وَضَعَ أَحَدُكُمْ وَجْهَهُ فَلْيَضَعْ يَدَيْهِ وَإِذَا رَفَعَهُ فَلْيَرْفَعْهُمَا

Jika tangan diletakakn terlebih dahulu, maka niscaya sebelum diletakkan muka, ia harus bersamaan meletakkan lutut terlebih dahulu. Itulah sebabnya, penyusun sepakat dengan pendapatnya Ibnul Qayyim yang mengatakan bahwa hadits tentang keharusan meletakkan tangan terlebih dahulu sebelum lutut adalah hadits MAQLUB FIL MATAAN (Komentar DR.Muhammad Bazamul,hal.300 dalam ENSIKLOPEDI TARJIH).

Keharusan meletakkan kedua lutut sebelum tangan juga ditegaskan oleh DR.Sa’id ‘Ali bin Wahf al Qahthani dalam ENSIKLOPEDI SHOLAT Juz I/354 Point 18.

Sedangkan gerakan badan saat sujud tidaklah ada perbedaan, yaitu:

1) Posisi sikut harus ditinggikan dengan telapak tangan dibuka –tidak digenggam- berada ditempat sujud sejajar dengan keadaan saat takbir.

إِذَا سَجَدْتَ فَضَعْ كَفَّيْكَ وَارْفَعْ مِرْفَقَيْكَ

Apabila engkau sujud,maka letakkanlah kedua telapak tanganmu (di tempat sujud) dan angkatlah kedua sikutmu”. HR. Muslim (763), Juz 2/51

قال إذا سجدت فلا تضم كفيك

Apabila engkau sujud, maka janganlah digenggam kedua telapak tanganmu”. HR.Ibnu Syaibah Juz I/291.

2) Jari jemari dirapatkan dengan posisi menghadap kiblat, sebagaimana disebutkan dalam hadits berikut ini:

إذا سجدت فاضم أصابعك ووجه يديك قبل القبلة فإن اليدين تسجدان مع الوجه.

“Apabila engkau sujud, rapatkanlah jari jemarimu dan hadapkanlah kedua tanganmu kea rah kiblat. Karena sesungguhnya dua tangan bersujud bersama muka”. HR. Ibnu Syaibah Juz I/ 292.

3) Hidung dan dahi harus menetap pada tempat sujud, sebagaimana disebutkan dalam hadits berikut ini:

إذا سجدت فضع انفك على الارض مع جبهتك وفي حديث الصفار ثم جبهتك

“Jika engkau sujud, tempatkan hidungmu di atas tempat sujud beserta dahimu. Dalam hadits shoffar disebutkan, kemudian dahimu”. Sunan al Kubro lil Baihaqy, Juz 2/104

4) Kedua lutut menekan tempat sujud dengan jari jemari kaki mengarah ke kiblat, sebagaimana disebutkan dalam hadits berikut:

كَانَ يُمَكِّنُ أَيْضًا رَكْبَتَيْهِ وَ أَطْرَافَ قَدَمَيْهِ

“Beliau menetapkan pula kedua lututnya dan ujung-ujung jari kedua kakinya”.HR. Al Baihaqi

يَسْتَقْبِلُ بِأَطْرَافِ أَصَابِعِهَا الْقِبْلَةَ

“Beliau menghadapkan ujung-ujung jari jemarinya kearah kiblat”. HR.Buhori dan Abu Daud

5) Kedua tumit disatukan, sebagaimana hadits berikut ini:

يَرُصُّ عَقِبَيْهِ

Beliau merekatkan kedua tumitnya”. HR.Ibnu Khuzaimah dan Al Hakim.

6) Kedua tangan dilebarkan hingga area ketiak terbuka sedangkan Perut tidak menempel kepaha, ini sebagaimana disebutkan hadits berikut ini:

كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا سَجَدَ يُجَنِّحُ فِي سُجُودِهِ حَتَّى يُرَى وَضَحُ إِبْطَيْهِ
ِ

“Apabila sujud, beliau melebarkan kedua tangannya dalam sujudnya hingga terlihat jelas kedua ketiaknya”. HR.Muslim (764),Juz 3/53

حدثنا أبو بكر قال نا جرير عن ليث عن مجاهد أنه كان يكره أن يضع الرجل بطنه على فخذيه إذا سجد كما تضع المرأة.

“Dari Mujahid, bahwasanya ia memakruhkan seorang laki laki yang menempelkan perutnya ke paha saat sujud sebagaimana seorang wanita melakukannya saat sujud”. HR. Ibnu Syaibah: 43/4, Juz I/302

7) Ketentuan sujud perempuan dibedakan berdasarkan dua keterangan ibnu Syaibah 43/3 Juz I/302 berikut ini:

عن علي قال إذا سجدت المرأة فلتحتفر ولتضم فخذيها. عن مغيرة عن إبراهيم قال إذا سجدت المرأة فلتضم فخذيها ولتضع بطنها عليهما

“Jika seorang perempuan sujud, maka hendaklah ia menguruskannya- tidak melebarkan kedua sikutnya, merapatkan kedua paha, dan posisi perut menyentuh dengan bagian pahanya”

Demikian halnya dengan keterangan ibnu Syaibah No. Juz I/303,berikutnya:

إذا سجدت المرأة فلتلزق بطنها بفخذيها ولا ترفع عجيزتها ولا تجافي كما يجافي الرجل.

Jika seorang wanita sujud, hendaklah ia merapatkan perutnya dengan kedua pahanya dan janganlah ia mengangkat bagian pinggulnya dan janganlah melebarkan –kedua tangannya sebagaimana yang dilakukan oleh seorang laki laki dalam sujudnya.

g. Duduk antara dua sujud

Berdasarkan HR.Muslim dari Aisyah radhiyallahu ‘anha disebutkan bahwa ketika duduk antara dua sujud dan juga pada tasyahud awal, Rasulullah saw melakukannya dengan cara menduduki kaki kiri dan menegakkan telapak kaki kanan.

Sedangkan posisi tangan, sebagaimana dijelaskan dalam HR.Muslim (579,580) adalah tangan kanan di atas paha kanan dan tangan kiri di atas paha kiri, atau meletakkan telapak tangan kanan di atas paha dan telapak tangan kiri di atas paha kiri seraya menyentuhkan telapak tangan kiri pada lutut kirinya. Hal ini sebagaimana diterangkan pada hadits ‘Abdullah bin Zubair dari ayahnya dan hadits ‘Abdullah bin Umar radhiyallahu ‘anhumaa.

h. Duduk tahiyat

Nama lain tahiyat adalah tasyahud. Dalam hal ini, ada dua cara duduk yang dilakukan guna membedakan antara tasyahud awal dan tasyahud akhir. Duduk pada tasyahud awal adalah sama halnya dengan duduk antara dua sujud. Yang membedakan dengan duduk antara dua sujud adalah keadaan tangan kanan yang menggenggamkan jari kelingking dan jari manis tangan kanan dan membuat lingkaran antara ibu jari dengan jari tengah, serta menunjukkan jari telunjuk seraya menggerakkannya ke kiblat pada saat menyebut nama Allah dan pada saat berdo’a. (HR. Ibnu Majah dan An Nasa’I dari Sahabat Wa’il bin Hujr). Duduk tasyahud awal ini disebut iftirasy. Tentang hal ini, Rasulullah Saw bersabda:

فَإِذَا جَلَسْتَ فِيْ وَسْطِ الصَّلاَةِ فَاطْمَئِنَّ وَافْتَرِشْ فَخْذَكَ الْيُسْرَي ثُمَّ تَشْهَدْ

“Jika engkau duduk ditengah tengah sholat, maka berthuma’ninahlah dan bentangkanlah paha kirimu, lalu bertasyahudlah”. HR. Abu Daud dan Al Baihaqy.

Sedangkan cara duduk tasyahud akhir berbeda keadaannya dengan duduk tasyahud awal dalam hal keadaan duduknya. Sedangkan keadaan tangan selama isyarat do’a tetaplah sama. Cara duduk di tasyahud akhir disebut tawarruk. Hal ini berdasarkan keterangan hadits Abu Hamid As Sa’di ra dalam Shohih Buhori. Yang dimaksud dengan duduk tawaruk ini diterangkan dalam HR. Abu Daud Sebagai berikut: “Beliau melapangkan pangkal pahanya yang sebelah kiri ke tanah dan mengeluarkan kedua kakinya ke satu arah”. Sedangkan Imam Muslim meriwayatkan dari Abu ‘Uwanah, menjelaskan bahwa dalam duduk tawarruk itu, Rasulullah saw meletakkan kaik kirinya di bawah paha dan betisnya.

i. Mengucapkan salam.

Ketika mengucapkan salam, beliau melakukannya dengan cara memalingkan mukanya ke sebelah kanan hingga tampak putih pipinya. Demikian halnya ketika memalingkannya ke sebelah kiri. Tentang hal ini dapat dibaca dalam keterangan hadits Sunan Abi Daud (845) Juz 3/183 berikut:

عَنْ عَبْدِ اللَّهِ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يُسَلِّمُ عَنْ يَمِينِهِ وَعَنْ شِمَالِهِ حَتَّى يُرَى بَيَاضُ خَدِّهِ السَّلَامُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللَّهِ السَّلَامُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللَّهِ

Dari Abdullah ra bahwasanya Rasulullah saw mengucapkan salam ke sebelah kanannya, ‘Mudah-mudahan kesejahteraan dilimpahkan kepada kamu sekalian serta rahmat Allah’, sehingga tanpaklah putih pipinya sebelah kanan. Dan ke sebelah kiri beliau mengucapkan ‘Mudah-mudahan kesejahteraan dilimpahkan kepada kamu sekalian serta rahmat Allah’, sehingga tampaklah putih pipinya yang sebelah kiri.

2. Ketenangan Gerakan (Thuma’ninah) Sholat

Sebaik apapun gerakan sholat seseorang sepertihalnya gerakan sholat Rasulullah , jika dilakukan secara terburu-buru, maka menjadi tidak bermakna dan dapat membatalkan sholatnya. Sehingga harus diulang kembali. Hal ini sesuai dengan hadits Ahmad (18227) dari Rifa’ah bin Rafi az Zarqani dalam Musnad Ahmad Juz 38/480 berikut ini:

Ketika kami berada di Masjid, seseorang masuk dan sholat di pojok masjid. lalu, Rasulullah Shollallahu ‘Alaihi Wasallam-pun memperhatikannya sekilas. Selesainya sholat, sahabat tersebut menemui dan mengucapkan salam kepada Rasul. Setelah menjawab salamnya, Rasulullah berkata: “Sholatlah (kembali/disuruh mengulang), karena sesungguhnya engkau belum sholat!”. Kejadianini berulang hingga tiga atau empat kali. Sampai akhirnya, Sahabat itupun berkata:

وَالَّذِي بَعَثَكَ بِالْحَقِّ لَقَدْ أَجْهَدْتُ نَفْسِي فَعَلِّمْنِي وَأَرِنِي

“Demi Allah Yang mengutusmu dengan kebenaran, Saya telah bersungguh sungguh sholat sesuai dengan kemampuan diriku, maka (jika itu adalah kesalahan) ajarkanlah dan perlihatkanlah sholat yang benar kepadaku”.

Kemudian Rasulullah Shollallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda:

إِذَا أَرَدْتَ أَنْ تُصَلِّيَ فَتَوَضَّأْ فَأَحْسِنْ وُضُوءَكَ ثُمَّ اسْتَقْبِلْ الْقِبْلَةَ ثُمَّ كَبِّرْ ثُمَّ اقْرَأْ ثُمَّ ارْكَعْ حَتَّى تَطْمَئِنَّ رَاكِعًا ثُمَّ ارْفَعْ حَتَّى تَطْمَئِنَّ قَائِمًا ثُمَّ اسْجُدْ حَتَّى تَطْمَئِنَّ سَاجِدًا ثُمَّ ارْفَعْ حَتَّى تَطْمَئِنَّ جَالِسًا ثُمَّ اسْجُدْ حَتَّى تَطْمَئِنَّ سَاجِدًا ثُمَّ قُمْ فَإِذَا أَتْمَمْتَ صَلَاتَكَ عَلَى هَذَا فَقَدْ أَتْمَمْتَهَا وَمَا انْتَقَصْتَ مِنْ هَذَا مِنْ شَيْءٍ فَإِنَّمَا تُنْقِصُهُ مِنْ صَلَاتِكَ.

“Jika engkau akan sholat, maka berwudhulah. Berwudhulah sebagus bagusnya wudhu. Kemudian menghadaplah ke kiblat. Kemudian bertakbirlah. Kemudian bacalah. Kemudian rukulah hingga engkau thuma’ninah. Kemudian bangkitlah dari ruku hingga berdiri dengan thuma’ninah. Kemudian sujudlah hingga thuma’ninah. Kemudian bangunlah untuk sujud hingga thuma’ninah. Kemudian sujudlah (kembali) hingga thuma’ninah. Kemudian berdirilah (untuk roka’at berikutnya). Maka jika engkau menyempurnakan sholatmu (dengan gerakan-gerakan tersebut) maka sesungguhnya engkau telah sempurna. Dan apa yang terkurang dari gerakan ini maka sesungguhnya engkau telah mengurangi sholat. (Berarti, harus diulang kembali).

3. Bacaan Sholat

Pada dasarnya bacaan sholat yang bagaimanapun, selama itu merujuk kepada keterangan yang datang dari Rasulullah Shollallahu ‘Alaihi Wasallam adalah boleh. Yang

4. Pemahaman Atas Bacaan Sholat

Pemahaman atas bacaan sholat, merupakan bagian penting dalam hal terbentuknya sholat yang khusyu. Hal ini dikarenakan, sholat merupakan saat munajatnya manusia dengan Tuhannya. Jika munajat itu dilakukan oleh seseorang tanpa pemahaman atas apa yang diucapkannya, hal itu bagaikan orang yang sedang mabuk berbicara dengan tuannya. Itulah sebabnya, dalam Qs. An Nisa (4):43 Allah SWT berfirman:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا لَا تَقْرَبُوا الصَّلَاةَ وَأَنْتُمْ سُكَارَى حَتَّى تَعْلَمُوا مَا تَقُولُونَ وَلَا جُنُبًا إِلَّا عَابِرِي سَبِيلٍ حَتَّى تَغْتَسِلُوا وَإِنْ كُنْتُمْ مَرْضَى أَوْ عَلَى سَفَرٍ أَوْ جَاءَ أَحَدٌ مِنْكُمْ مِنَ الْغَائِطِ أَوْ لَامَسْتُمُ النِّسَاءَ فَلَمْ تَجِدُوا مَاءً فَتَيَمَّمُوا صَعِيدًا طَيِّبًا فَامْسَحُوا بِوُجُوهِكُمْ وَأَيْدِيكُمْ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَفُوًّا غَفُورًا (43)

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu shalat, sedang kamu dalam Keadaan mabuk, sehingga kamu mengerti apa yang kamu ucapkan, (jangan pula hampiri mesjid) sedang kamu dalam Keadaan junub, terkecuali sekedar berlalu saja, hingga kamu mandi. dan jika kamu sakit atau sedang dalam musafir atau datang dari tempat buang air atau kamu telah menyentuh perempuan, kemudian kamu tidak mendapat air, Maka bertayamumlah kamu dengan tanah yang baik (suci); sapulah mukamu dan tanganmu. Sesungguhnya Allah Maha Pema'af lagi Maha Pengampun.”

Pemahaman atas bacaan itulah yang menghantarkan jiwa seorang musholli kedalam penghayatan yang dalam tingkatan tertentu menyebabkan dirinya mampu menangis di saat sholat. Sebagaimana menangisnya Rasulullah di saat sholat.

أَخْبَرَنَا سُوَيْدُ بْنُ نَصْرٍ قَالَ أَنْبَأَنَا عَبْدُ اللَّهِ عَنْ حَمَّادِ بْنِ سَلَمَةَ عَنْ ثَابِتٍ الْبُنَانِيِّ عَنْ مُطَرِّفٍ عَنْ أَبِيهِ قَالَ أَتَيْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَهُوَ يُصَلِّي وَلِجَوْفِهِ أَزِيزٌ كَأَزِيزِ الْمِرْجَلِ يَعْنِي يَبْكِي

Dari Muthorrif Ibnu Abdillah Ibnus Syikhir dari ayahnya, dia berkata:”Aku melihat Rasulullah saw sedang sholat, dan di dadanya ada suara seperti suara air yang mendidih karena menangis”. Dikeluarkan oleh Imam Lima kecuali Ibnu Majah dan dinilai Shohih oleh Ibnu Hibban. (Bulughul Maram,Hadits no.237).

Penutup

Keempat pokok masalah yang disampaikan dalam paparan di atas adalah bagian dari penjelasan – yang dapat penyusun sampaikan- tentang makna kata yang berkaitan dengan sholat. Yaitu kata “Hafidzun” di Qs. 6/92; 70/34; dan “Da-imun” di Qs. 70/23, dan akhirnya kata “Khasyi’un” yang terdapat dalam Qs.23/2.

Oleh karena itu, untuk lebih bisa memaknai makna-makna yang terkandung dalam ayat-ayat di atas, penyusun menganjurkan kepada siapa saja yang membaca risalah ini untuk menela’ah lebih dalam kepada berbagai rujukan yang ada. Semoga, dengan terpahaminya makna, khusyu menjadi lebih mudah diraih dalam sholat. Karena sesungguhnya sholat itu urusan yang berat kecuali bagi mereka yang khusyu’ (Qs.2/ 45)

Selamat mengkaji, Wal hamdulillahirabbil ‘Aalamin.

Tidak ada komentar: