Rabu, 10 Desember 2008

Kepribadian sholih bagi terbentuknya generasi sholih

Bismillahirrahmaanirrahim

PRIBADI SHOLIH BAGI TERBENTUKNYA

GENERASI SHOLIH

Muqoddimah :

“Langkah pertama untuk memusnahkan sebuah bangsa cukup dengan menghapuskan memorinya. Hancurkan buku bukunya, kebudayaannya dan sejarahnya, maka tak lama setelah itu bangsa tersebut akan mulai melupakan apa yang terjadi sekarang dan pada masa lampau. Dunia sekelilingnya bahkan akan lupa lebih cepat.” (Milan Kundera, Sastrawan Cekoslowakia/ Hyphatia Cneajna, Dracula h.163, Navila Idea Jogyakarta,2007)

Keberhasilan orangtua dalam mendidik anaknya menjadi sholih diukur dari sholih atau tidaknya anak ketika ia berusia dewasa. Dalam bahasa Qs. Ash Shoffaat (37): 102 , disebut dengan "Balagho as sa'yu", yang berarti 'telah mencapai usia yang membuat dirinya mampu bekerja untuk membiayai dirinya sendiri'.

Kata as Sa'yu, diterjemahkan oleh sahabat Ibnu Abbas dengan al 'amal. Penerjemahan ini di kuatkan oleh beberapa penjelasan ayat berikut, yaitu:

1. Qs. Al kahfi (18): 103-104; Katakanlah:"Apakah akan Kami beritahukan kepadamu tentang orang orang yang paling merugi perbuatannya?" Yaitu orang orang yang telah sia-sia perbuatannya (sa'yuhum) dalam kehidupan dunia ini, sedangkan mereka menyangka bahwa mereka berbuat sebaik-baiknya.

2. Qs. Al Anbiya' (21): 94 ;Maka barangsiapa yang mengerjakan amal saleh, sedang ia beriman, maka tidak ada pengingkaran terhadap amalannya (Lisa'yihi) itu dan sesungguhnya Kami menuliskan amalannya itu untuknya.

3. Qs. An Najm (53): 39-40; Dan bahwasanya seorang manusia tiada memperoleh selain apa yang telah diusahakannya (Maa Sa'aa). Dan bahwasanya usahanya (Sa'yuhu) itu kelak akan diperlihatkan kepadanya.

Berdasarkan keterangan Qs.37/102, maka seorang anak dikategorikan sholih adalah ketika dia -dengan kondisinya yang sudah tidak membutuhkan uluran tangan orangtuanya- mampu menjadi bagian utama dari kesholihan yang sedang dijalankan oleh orangtuanya, sebagaimana Isma'il as memposisikan dirinya menjadi sembelihan yang harus ditunaikan oleh Ibrahim as, bapaknya sendiri.

Dengan demikian, berhasil tidaknya diri kita dalam membangun kesholihan diri saat ini bisa diukur dengan menggunakan cermin di atas. Apakah sebagai orangtua, kita telah berhasil menjadi orangtua yang sholih sebagaimana sholihnya Ibrahim as? Dan sebagai anak, apakah kita juga telah berhasil menjadi anak yang sholih sebagaimana sholihnya Isma'il as?

Untuk menjawab itu semua, menurut pribadi penulis, hal yang pertama dijadikan teladan ukuran kesholihan haruslah Ibrahim as terlebih dahulu, baru setelah itu Isma'il as. Mengapa? karena kesholihan Isma'il selaku anak adalah buah dari kesholihan Ibrahim sebagai bapak. Adapun mengenai sebutan dirinya yang dalam al Qur'an disebut dengan "ghulamin haliim" atau pribadi santun adalah refleksi dari kemampuannya mempertahankan kesantunannya dalam mensikapi kemauan; perintah orangtuanya -yang sebenarnya- dapat merugikan dirinya sendiri, ketika dirinya sebenarnya mampu bersikap keras kepada orangtuanya . Terlebih kondisi dirinya saat itu sudah tidak lagi bergantung kepada kepada pemberian orangtua. Sikap santun ini, adalah kewajiban bagi setiap anak kepada orangtuanya. (Baca Qs. Al Ahqaf (46): 15)!

Mengenai gambaran kesantuunan Isma'il, kita dapat membaca penjelasan Allah SWT dalam firmanNyaQs. Ash Shoffaat (37): 100-102 berikut ini:

رَبِّ هَبْ لِي مِنَ الصَّالِحِينَ (100) فَبَشَّرْنَاهُ بِغُلَامٍ حَلِيمٍ (101) فَلَمَّا بَلَغَ مَعَهُ السَّعْيَ قَالَ يَا بُنَيَّ إِنِّي أَرَى فِي الْمَنَامِ أَنِّي أَذْبَحُكَ فَانْظُرْ مَاذَا تَرَى قَالَ يَا أَبَتِ افْعَلْ مَا تُؤْمَرُ سَتَجِدُنِي إِنْ شَاءَ اللَّهُ مِنَ الصَّابِرِينَ (102)
Berkata Ibrahim ‘alaihis salam:
Ya Tuhanku, anugerahkanlah kepadaku seorang anak yang termasuk orang orang yang saleh. Maka Kami beri dia khabar gembira dengan seorang anak yang amat sabar. Maka tatkala anak itu sempat (pada umur sanggup) berusaha bersama sama Ibhim, Ibrahim berkata: “Hai anakku sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Mak a fikirkanlah apa pendapatmu! Ia menjawab “Hai bapakku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu, Insya Allah kamu akan mendapatku termasuk orang orang yang sabar”. Qs. Ash Shoffaat (37):100-102.

Paparan ayat di atas, menegaskan satu hal, bahwa untuk membentuk pribadi sholih pada anak, maka seorang anak harus dididik untuk bisa mengorbankan kemauan dirinya melalui aneka proses peribadatan. Baik, peribadatan yang berkaitan dengan pengorbanan atas kesenangan badannya. Seperti dibangunkan untuk sholat disaat ia nyenyak tidur. Maupun, peribadatan yang berkaitan dengan pengorbanan atas apa yang dimilikinya, seperti diminta untuk menyisakan uang jajannya untuk infaq di sekolahnya ataupun lainnya.

Ibrahim; Karakteristik bapak yang sukses mendidik anaknya

Untuk lebih memahami permasalahan di atas, hal yang pertama harus ditela'ah adalah kepribadian yang bagaimanakah yang ada pada diri Ibrahim, sehingga Allah Subhanahu Wata'ala mengabulkan do'anya dengan mengkaruniakan kepadanya 'ghulamin haliim' tersebut.

Berdasarkan beberapa penjelasan berikut ini, diterangkan bahwa Ibrahim 'alaihissalam adalah figur orangtua yang memiliki karakteristik spesial. Ada tiga karakter yang bisa kita baca berikut ini, yaitu: Karakteristik yang pertama disebutkan Allah SWT dalam Qs.Al Baqoroh (2):124 adalah pribadi yang konsisten dalam menjalani setiap tahapan masalah kehidupannya hingga mendekati derajat sempurna (utuh, lengkap dan tidak setengah-setengah).

وَإِذِ ابْتَلَى إِبْرَاهِيمَ رَبُّهُ بِكَلِمَاتٍ فَأَتَمَّهُنَّ

Dan ingatlah ketika Allah memberikan ujian kepada Ibrahim dengan beberapa kalimat ujian, maka ia menyempurnakan (ujian ujian tersebut).

Tentang karakter penyempurna ini juga ditegaskan Allah SWT dalam Qs. An Najm (53) :37 dan juga Qs. An Nahl (16): 120-121, berikut:

“Dan (belumkah diterangkan kepadanya tentang) Ibrahim yang selalu menyempurnakan janji?”. Qs,53:37.

Sesungguhnya Ibrahim adalah seorang imam yang dapat dijadikan teladan lagi patuh kepada Allah dan hanif. Dan sekali kali bukanlah dia termasuk orang orang yang mempersekutukan (Tuhan). (lagi) yang mensyukuri ni’mat ni’mat Allah, Allah telah memilihnya dan menunjukinya kepada jalan yang lurus”. Qs.16:120-121.

Karakter kedua adalah pribadi yang selalu ridho dengan segala ketentuan Allah, sekalipun itu menyakitkan dirinya. Seperti kerelaan mengorbankan keturunannya Isma’il yang diperolehnya dalam usia yang sudah renta. Tentang hal ini, kita bisa membaca dalam Qs. Ash Shoffaat (37): 102 berikut ini:

فَلَمَّا بَلَغَ مَعَهُ السَّعْيَ قَالَ يَا بُنَيَّ إِنِّي أَرَى فِي الْمَنَامِ أَنِّي أَذْبَحُكَ فَانْظُرْ مَاذَا تَرَى قَالَ يَا أَبَتِ افْعَلْ مَا تُؤْمَرُ سَتَجِدُنِي إِنْ شَاءَ اللَّهُ مِنَ الصَّابِرِينَ (102)

Maka tatkala anak itu sampai pada umur sanggup berusaha bersama sama Ibrahim, Ibrahim berkata: “Hai anakku sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka fikirkanlah apa pendapatnu!”. Ia menjawab: “Hai bapakku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu; insya Allah kamu akan mendapatiku termasuk orang orang yang sabar”.

Karakter ketiga adalah pribadi yang tegas dalam mensikapi kebenaran,sebagaimana ketegasan yang diperlihatkan kepada orangtuanya, Azar yang melakukan peribadatan terhadap patung. Ini sebagaimana yang disebutkan dalam Qs. Az Zukhruf (43):26- 28, berikut ini:

وَإِذْ قَالَ إِبْرَاهِيمُ لِأَبِيهِ وَقَوْمِهِ إِنَّنِي بَرَاءٌ مِمَّا تَعْبُدُونَ (26) إِلَّا الَّذِي فَطَرَنِي فَإِنَّهُ سَيَهْدِينِ (27) وَجَعَلَهَا كَلِمَةً بَاقِيَةً فِي عَقِبِهِ لَعَلَّهُمْ يَرْجِعُونَ (28)

Dan ingatlah ketika Ibrahim berkata kepada bapaknya dan kaumnya: “Sesungguhnya aku tidak bertanggung jawab terhadap apa yang kamu sembah. Tetapi (aku) menyembah Tuhan Yang menjadikanku; karena sesungguhnya Dia akan memberi hidayah kepadaku”. Dan (Ibrahim) menjadikan kalimat tauhid itu kalimat yang kekal pada keturunannya supaya mereka kembali kepada kalimat tauhid itu”.

Ketiga karakter di atas, hanya sebagian dari karakteristik yang dapat dijelaskan pada diri Ibrahim 'alaihissalam. Yang menjadi pertanyaannya adalah, sudah bisakah kita mengenal karakter diri ini, sehingga kita bisa mengevaluasi sisi kelemahan dan kekuatannya untuk meraih kesuksesan hidup hari ini dan hari yang akan datang? Sekaligus bisa mendudukkan dimana peranan anak anak kita seharusnya dalam konstalasi peraihan kesuksesan tersebut?


Lalu, kepribadian Ibrahim manakah yang belum ada pada diri kita hari ini? apakah kepribadian yang berkaitan dengan konsistensi dalam menjalankan setiap tahapan proses kehidupan, kerelaan menerima hasil proses dan ketegasan mempertahan hasil proses?
Jika satupun dari ketiga hal tersebut belum ada dalam diri kita, maka bagaimana mungkin kita berharap akan lahir dan tumbuhnya generasi yang tanggap dengan permasalahan yang dihadapi oleh kita – para orangtua ?!. jadi, sebelum berharap adanya generasi sholihin sepertihalnya Isma’il as dalam rumah tangga kita, sebaiknya terlebih dahulu kita menjadikan diri kita sebagai orangtua yang berkepribadian Ibrahim. Bisa?

Adanya keharusan mendahulukan diri dalam pelaksanaan kewajiban adalah perintah Allah SWT sebagaimana yang terdapat dalam Qs. At Tahrim (66):6.

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا قُوا أَنْفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَارًا وَقُودُهَا النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ عَلَيْهَا مَلَائِكَةٌ غِلَاظٌ شِدَادٌ لَا يَعْصُونَ اللَّهَ مَا أَمَرَهُمْ وَيَفْعَلُونَ مَا يُؤْمَرُونَ (6)

Hai orang orang yang beriman,peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat malaikat yang kasar, yang keras, yang tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.

Demikian halnya dengan nasihat sahabat Umar bin Khottob ra (Tafsir Ibnu Katsir,Juz 1/134) berikut ini:

قال عمر رضي الله عنه: "حاسبوا أنفسكم قبل أن تحاسبوا، وزنوا أنفسكم قبل أن توزنوا، وتأهبوا للعرض الأكبر على من لا تخفى عليه أعمالكم: { يَوْمَئِذٍ تُعْرَضُونَ لا تَخْفَى مِنْكُمْ خَافِيَةٌ } " .

“Hisablah dirimu sendiri sebelum kalian di hisab. Timbanglah – kebaikan dan keburukanmu- sebelum kalian ditimbang, dan bersiaplah kalian menghadapi hari besar diperlihatkannya seluruh amalan yang sebelumnya disembunyikan, sebagaimana Allah SWT telah berfirman “ Pada hari itu kamu dihadapkan kepada Tuhanmu, tiada sesuatupun dari keadaanmu yang tersembunyi bagi Allah” Qs.Al Haqqah (69) : 18.

Bahwa diri menjadi prioritas dalam pemenuhan kewajiban, juga dijelaskan oleh Rasulullah SAW dalam hal pembelanjaan harta dalam hadits Muslim nomor :1663 (baca Tafsir Ibnu Katsir Juz 1/580) berikut ini:

عن أبي هريرة قال: قال رجل: يا رسول الله، عندي دينار؟ قال: "أنفقه على نفسك". قال: عندي آخر؟ قال: "أنفقه على أهلك". قال: عندي آخر؟ قال: "أنفقه على ولدك". قال: عندي آخر؟ قال: "فأنت أبصَرُ".وقد رواه مسلم في صحيحه . وأخرج مسلم أيضًا عن جابر: أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال لرجل: "ابدأ بنفسك فتصدّق عليها، فإن فَضَل شيء فلأهلك، فإن فضل شيء عن أهلك فلذي قرابتك، فإن فضل عن ذي قرابتك شيء فهكذا وهكذا" .

Seseorang bertanya: Ya Rasulullah, saya mempunyai dinar. Rasul menjawab: “Nafkahlah untuk dirimu”. Saya punya yang lain, lanjutnya. Rasul berkata:” Nafkahkanlah untuk anak isterimu (ahlimu)”. Saya punya yang lain, lanjutya. Rasul berkata: “Nafkahkanlah untuk kedua orangtuamu”. Saya punya yang lainnya, lanjutnya. Rasul berkata: “Engkau lebih tahu siapa lagi yang berhak kamu nafkahi”. Dalam riwayat muslim dari jabir bin abdillah, disebutkan bahwasanya Rasul bersabda kepada lelaki tersebut: “Mulailah dari dirimu sendiri!, maka bersedekahlah atasnya, jika ada kelebihan, maka itu untuk keluargamu. Jika ada kelebihan dari kebutuhan keluargamu, maka sedekahkanlah kepada kerabatmu, dan jika ada kelebihan maka sedekahkanlah kepada yang lainnya dan seterusnya….”.

Jika ketiga karakter tersebut sudah melembaga pada diri, maka langkah berikutnya yang harus dijalani setiap diri adalah mempersiapkan bentuk amaliah diri yang secara spesipik mencerminkan kepribadian dirinya, bukan kepribadian orang lain. Setiap diri harus mempersiapkan secara spesifik bidang bidang amaliah yang berorientasikan kesuksesan akhirat yang akan dijalankannya secara maksimal sesuai dengan kapasitas dirinya, baik dari sisi profesionalitasnya maupun finansialnya.


Buanglah jauh jauh segala hal yang –mungkin- bisa menjadi kendala. Karena itu, mulailah dari sekarang setiap pribadi (diri) merumuskan dan merealisasikan karya karya solihnya setahap demi tahap (Syibran Syibran Wa Dziraa’an bi dziraa’in) ditengah tengah kesibukannya menjalankan aktifitas (kerjanya) sehari hari. Jangan sampai, kita menjadi tidak mampu dengan menyalahkan waktu yang sempit, badan yang sakit, kerja yang menumpuk. Sebab, jika itu terjadi hingga saatnya kita menemui Allah belum terealisir dengan baik. Maka tak ada jawaban yang dapat kita ajukan Sebagai alas an pembenar di hadapan Allah SWT.

Lakukanlah hal di atas sebaik mungkin, dan hadapilah segala tantangan yang ada seprofesionalitas mungkin. Baru setelah itu, untuk kesinambungan realisasi dari perjalanan tersebut, maka libatkanlah anak anak kita dalam proyek proyek kebaikan tersebut.

Menjadikan keadaan Sebagai pembenar atas ketidakmampuannya melakukan amal sholih adalah penyebab dimasukkannya manusia ke dalam neraka. Orang orang seperti ini dikategorikan mustahd’afiin, yaitu orang yang karena ketiadaan usahanya untuk membebaskan diri dari belenggu keadaan menjadikannya korban dari kekufuran dan kejahatan orang lain. Orang seperti ini, dalam Qs. An Nisa (4):97 dikategorikan “Dhalimii Anfusihim”.

Sesungguhnya orang orang yang diwafatkan malaikat dalam keadaan menganiaya diri sendiri, kepada mereka, malaikat bertanya:”Dalam keadaan bagaimana kamu ini?”, mereka menjawab: “Adalah kami orang orang yang tertindas di negeri ini (Mekkah)”. Para malaikat berkata: “Bukankah bumi Allah itu luas. Sehingga kamu dapat berhijrah di bumi itu?”. Orang orang itu tempatnya neraka Jahannam, dan Jahannam itu seburuk buruk tempat kembali. (baca pula Qs.16:28-29)

Dengan demikian, kepada para pembaca artikel ini, marilah kita berupaya melibatkan diri menjadi bagian dari suatu amaliah sholihah yang ada di lingkungan kita. Dan gunakanlah keterampilan kita (kapasitas) untuk kesinambungan amal sholih tersebut, searah dengan rutinitas harian dalam memenuhi kebutuhan hidup diri dan keluarga.


Setelah itu, libatkanlah anak anak kita dalam kebaikan. Janganlah kita mensibukkan diri dalam aneka kegiatan kebaikan, sementara anak anak kita berada dalam kesibukan lain yang justru bertolak belakang dengan kebaikan orangtua. Itulah sebabnya, Rasulullah saw. mengingatkan kita semua dengan salah satu haditsnya berikut ini:

ان رسول الله صلى الله عليه وسلم قال علموا صبيانكم الصلوة في سبع سنين وادبوهم عليها في عشر سنين وفرقوا بينهم في المضاجع (سنن الكبري للبيهقي جزء 2: 229)

Sedangkan dalam kalimat lain, kata “Addibuu” disampaikan dengan kata “Adribuu”, yaitu:

قال رسول الله صلى الله عليه وسلم مروا صبيانكم بالصلوة في سبع سنين واضربوهم عليها في عشر وفرقوا بينهم في المضاجع

Sesungguhnya Rasulullah Saw bersabda: “Ajarkanlah anak kalian untuk sholat di saat berusia tujuh tahun dan didiklah dengan sanksi atasnya di saat berusia sepuluh tahun. Serta pisahkanlah mereka saat di tempat tidurnya”. Sunan Al Baihaqy Juz 2/229. Sedangkan dalam riwayat lain, kata didiklah diganti dengan pukullah!.

Keharusan melibatkan anak dalam perilaku sholih, telah diterangkan dengan jelas dalam beberapa kandungan ayat berikut:

“Ya Tuhan kami, jadikanlah kami berdua orang yang tunduk patuh kepada Engkau dan jadikanlah di antara anak cucu kami umat yang tunduk patuh kepada Engkau dan tunukkanlah kepada kami cara cara dadan tempat tempat ibadat haji kami, dan terimalah taubat kami. Sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang”.Qs Al Baqoroh (2) :128.

“Ya Tuhanku, jadikanlah aku dan anak cucuku orang orang yang tetap mendirikkan sholat, Ya Tuhan kami, perkenankanlah do’aku”.Qs. Ibrahim (14) :40.

“Ya Tuhanku, tunjukilah aku untuk mensyukuri ni’mat Engkau yang telah Engkau berikan kepadaku dan kepada ibu bapakku dan supaya aku dapat berubuat amal yang saleh yang Engkau ridhoi; berilah kebaikan kepadaku dengan memberi kebaikan kepada anak cucuku. Sesungguhnya aku bertaubat kepada Engkau dan sesungguhny aku termasuk orang orang yang berserah diri.” Qs. Al Ahqaf (46): 15.

MELIBATKAN ANAK DALAM PROSES KESHOLIHAN ORANGTUANYA

Hal utama yang mengharuskan kita untuk melibatkan anak anak dalam kesholihan tiada lain adalah untuk mengenalkan mereka kepada akar sejarah kesholihannya. Bahwa mereka harus menjadi bagian dari kesholihan yang pernah dilakukan oleh Isma’il dan Ibrahim ‘alaihimas salam. Jika akar kesolihan ini terus bersambung hingga anak cucu kita, maka segala macam maker yang dilakukan oleh orang orang kufur dan dzalim tidak akan mampu menggoyahkan keislaman dan keimanannya kepada Allah SWT. Terlebih lagi, jika keislaman dan keimanan ini diikat dengan tali ilmu sebagaimana yang telah Allah ajarkan melalui kitabullah, Al Quranul Karim dan teladan Rasul Muhammad Shollallahu ‘alaihi wasallam.

Inilah kesadaran utama yang harus ditanamkan kepada anak anak kita, agar mereka tidak hanya berislam tetapi juga beriman dan bertaqwa kepada Allah SWT. Keislaman yang tidak didukung dengan keimanan, akan menjadikan mereka dengan mudah ikut dan larut dalam perilaku dan gaya hidup mereka. Dan tentang kemungkinan adanya generasi muslim yang ikut perilaku dan gaya hidup mereka itu telah ditegaskan oleh Rasulullah SAW dalam haditsnya berikut ini:

عَنْ أَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَتَتْبَعُنَّ سَنَنَ مَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ شِبْرًا شِبْرًا وَذِرَاعًا بِذِرَاعٍ حَتَّى لَوْ دَخَلُوا جُحْرَ ضَبٍّ تَبِعْتُمُوهُمْ قُلْنَا يَا رَسُولَ اللَّهِ الْيَهُودُ وَالنَّصَارَى قَالَ فَمَنْ

dari Abi Sa’id al Khudriyyi dari Nabi Muhammad Shollallahu ‘Alaihi Wasallam , Ia bersabda: “ Sungguh kalian akan mengikuti cara hidup orang orang sebelumkalian, sejengkal demi sejengkal dan sehasta demi sehasta, sampai sekalipun mereka memasuki lubang biawak, kalian tetap mengikutinya”. Kami (para sahabat) bertanya: “ Wahai Rasulallah, apakah mereka itu Yahudi dan Nasrani?”, beliau menjawab: “Siapa lagi (kalau bukan mereka?)”. Shohih Buhori (6775), Juz 22 / 296.

Dengan demikian, potensi menyimpang dari nilai nilai ajaran islami adalah sesuatu yang selalu mungkin menimpa pada diri kaum muslimin. Kapan dan dimana saja. Terlebih lagi, jika kaum musliminnya –yang buta terhadap ajarannya sendiri- merasa terhormat jika mengikuti gaya hidup yang datang dari luar agamanya, sebagaimana yang terjadi saat ini. Artinya, jika ia buta terhadap ajaran agamanya, maka ia tidak merasa bersalah untuk meninggalkan ajarannya. Akibatnya, dalam satu masa tertentu ia akan menjadi tidak tahu samasekali tentang agamanya. Jika itu terjadi, maka yang ada adalah terputusnya kesinambungan kesholihan mereka dengan para pendahulunya, seperti nabi Muhammad shollallahu ‘alaihi wasallam dan nabi Isma’il ‘alaihis salam.

Itulah sebabnya, benar juga kata bijak berikut ini: “Langkah pertama untuk memusnahkan sebuah bangsa cukup dengan menghapuskan memorinya. Hancurkan buku bukunya, kebudayaannya dan sejarahnya, maka tak lama setelah itu bangsa tersebut akan mulai melupakan apa yang terjadi sekarang dan pada masa lampau. Dunia sekelilingnya bahkan akan lupa lebih cepat.” (Milan Kundera, Sastrawan Cekoslowakia/ Hyphatia Cneajna, Dracula h.163, Navila Idea Jogyakarta,2007)

Dengan adanya kata bijak tersebut, maka timbul satu pertanyan untuk kita jawab bersama, yaitu: mungkinkah anak anak kita akan menjadi orang orang yang terputus kesholihan agamanya dengan para pendahulunya (generasi salaf: Rasul dan para sahabatnya?) jika ia jawabannya, maka itu berarti akan lahir generasi baru yang menyimpang, dimana melakukan amal yang tidak pernah dicontohkan oleh Rasulullah SAW. Bahkan, karena kebodohannya terhadap ketentuan agama, menjadikan mereka dengan sukarela memasuki neraka hanya untuk mengikuti ajakan pada da’I da’inya.

Generasi seperti itu telah diterangkan oleh Rasulullah SAW dalam hadits shohih Buhori (No:3338,Juz 11/349) dan Shohih Muslim (No:3434,Juz 9/386) berikut ini:

سَمِعْتُ حُذَيْفَةَ بْنَ الْيَمَانِ يَقُولُ كَانَ النَّاسُ يَسْأَلُوْنَ رَسُوْلَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ الْخَيْرِ وَكُنْتُ أَسْأَلُهُ عَنِ الشَّرِّ مَخَافَةً أَنْ يُدْرِكَنِيْ فَقُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّا كُنَّا فِي جَاهِلِيَّةٍ وَشَرٍّ فَجَاءَنَا اللَّهُ بِهَذَا الْخَيْرِ فَهَلْ بَعْدَ هَذَا الْخَيْرِ شَرٌّ قَالَ نَعَمْ فَقُلْتُ هَلْ بَعْدَ ذَلِكَ الشَّرِّ مِنْ خَيْرٍ قَالَ نَعَمْ وَفِيهِ دَخَنٌ قُلْتُ وَمَا دَخَنُهُ قَالَ قَوْمٌ يَسْتَنُّونَ بِغَيْرِ سُنَّتِي وَيَهْدُونَ بِغَيْرِ هَدْيِي تَعْرِفُ مِنْهُمْ وَتُنْكِرُ فَقُلْتُ هَلْ بَعْدَ ذَلِكَ الْخَيْرِ مِنْ شَرٍّ قَالَ نَعَمْ دُعَاةٌ عَلَى أَبْوَابِ جَهَنَّمَ مَنْ أَجَابَهُمْ إِلَيْهَا قَذَفُوْهُ فِيْهَا فَقُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ صِفْهُمْ لَنَا قَالَ نَعَمْ قَوْمٌ مِنْ جِلْدَتِنَا وَيَتَكَلَّمُونَ بِأَلْسِنَتِنَا قُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ فَمَا تَرَى إِنْ أَدْرَكَنِي ذَلِكَ قَالَ تَلْزَمُ جَمَاعَةَ الْمُسْلِمِينَ وَإِمَامَهُمْ فَقُلْتُ فَإِنْ لَمْ تَكُنْ لَهُمْ جَمَاعَةٌ وَلَا إِمَامٌ قَالَ فَاعْتَزِلْ تِلْكَ الْفِرَقَ كُلَّهَا وَلَوْ أَنْ تَعَضَّ عَلَى أَصْلِ شَجَرَةٍ حَتَّى يُدْرِكَكَ الْمَوْتُ وَأَنْتَ عَلَى ذَلِكَ

Berkata Abu Idris Al Khaulani, saya mendengar Sahabat Khudzaifah bin al Yaman. Ia berkata, manusia bertanya kepada Rasulullah SAW tentang kebaikan, sedangkan aku bertanya tentang keburukan karena khawatir aku menemukannya dalam kehidupanku. Maka aku bertanya:” Ya Rasulullah sesungguhnya kami pernah hidup dalam kejahiliyyahan dan keburukan. Maka, apakah ada keburukan sesudah kebaikan?”. Rasul menjawab:”Ya”. “Dan apakah sesudah keburukan itu ada kebaikan?”, “ya”, jawab rasul. “Tetapi ada asapnya”. “Apakah asapnya?”, tanyaku. Rasul menjawab: ”yaitu, mereka yang membiasakan perilaku yang bukan sunnahku dan mengambil petunjuk yang bukan petunjukku. Engkau akan mengetahui dan mengingkarinya. Aku pun bertanya kembali,” Apakah sesudah kebaikan aka nada keburukan?”.”Ya”, jawab beliau. “Yaitu banyaknya da’I (penyeru agama) yang mengajak orang masuk ke pintu neraka. Siapa saja yang memenuhi ajakannya, mereka akan terlempar ke dalam neraka”. Lalu, akupun kembali bertanya,”Beritahukan kepada kami tentang sifat sifat mereka!”. Beliau menjawab: “lidah mereka dan pembicaraan mereka sama dengan kita”. “Wahai Rasul, apakah yang harus kukerjakan jika mendapati hal yang seperti itu?”, tanyaku. Beliau menjawab: “Konsisten kepada jama’ah muslimin dan tunduklah kepada Imamnya. Jika engkau tidak mendapatinya, maka asingkanlah kalian dari kelompok kelompok tersebut (firoq) semuanya, sekalipun untuk itu engkau harus menggigit akar pohon hingga mati untuk mempertahankannya”.
Isi hadits ini mengejutkan kita semua. Betapa tidak, karena salah satu faktor utama terputusnya sejarah kesolihan anak anak kita tidak bisa dilepaskan dari peranan da’I yang salah. Yaitu, Da’I (penyeru agama) yang suka mengajak orang membiasakan suatu amaliah –yang dianggapnya ibadah, tidak berdasarkan petunjuk Rasulullah SAW melainkan berdasarkan kebiasaan (tradisi) dan teladan orang lain (non muslim: Seperti mengamalkan tasbih dengan menggunakan aksamala .
Karena itu, pesan utama dari hadits ini adalah bukan pada sisi peringatan banyaknya amaliahnya yang salah. Melainkan lebih ke masalah panutan dan keteladanan dalam kebaikan. Dimana, banyak orang orang awam, dengan mudahnya menjatuhkan pilihan keteladanan kebaikannya kepada figure yang terkenal, gaul dan aneka sikap permisif lainnya.


Dengan demikian, kepada para orangtua semua, wahai para pengurus masjid, camkan dengan baik, jika kita ingin menyelamatkan masyarakat dan anak anak kita dari didikan agama yang salah serta dari kemungkinan terputusnnya ikatan kesholihan mereka dengan para pendahulunya (salafiyyun), maka yang pertama dan utama, selamatkanlah terlebih dahulu dari pengaruh DU’ATUN ‘ALA ABWAABIN NAAR: Para penyeru agama yang mengajak ke jalan neraka. Sebab, mereka itulah yang menyebabkan butanya masyarakat dari ajaran yang benar. Mereka memalingkan masyarakat dari sunnah rasulullah ke pada sunnah kreasinya. Mereka membuat aneka macam wirid wirid mujarabat, mendawamkan ritual ritual tertentu yang akhirnya oleh masyarakat awam dijadikan legitimasi akan kekaramahan dan kemuliaannya. Na’udzubillahi min dzalik.

Masjid ini, baru akan menjadi mercusuar syi’ar islam, jika para pengurusnya mampu membersihkan ajaran ajaran yang tidak berdasar dalil yang kuat. Dan ini tidak akan pernah berhasil, jika para pengurusnya sendiri tidak tahu mana yang benar dan mana yang salah, akibatnya, tidak selektif dalam memilih guru dan orang orang yang dipercayakan mengurus permasalah ta’lim di dalamnya.

Marilah kita belajar untuk mendidik diri dan masyarakat untuk mengenali urusan agamanya dari sumber yang valid, bersih dari kontaminasi pemikiran dan perilaku yang menyimpang.

PENUTUP

Pada dasarnya, setiap orang menginginkan kesuksesan hidup di dunia dan di akhirat kelak. Hanya saja, keinginan ini seringkali tidak sejalan dengan ikhtiar amaliah kita sehari hari. Kita menginginkan kebaikan dari anak anak kita dan berharap mereka menjadi generasi penerus atas kesuksesan dan kesholihan, tetapi, kita membiarkan mereka tidak terdidik dengan baik agamanya. Orang tua merasa bersalah jika tidak mampu mensekolahkannya di tempat pendidikan umum, semisal SLTP,SLTU hingga ke Perguruan Tinggi. Namun tidak pernah merasa salah jika anak anaknya yang sudah kuliah belum bisa menjalankan sholat secara intensif (Dzuhur, Ashar, Maghrib, Isya dan Subuh), baik dan benar. Padahal Rasulullah sendiri sudah mewajibkan pendidikan sholat diterapkan semenjak umur tujuh tahun. Dan mulai ditegakkan aturan tersebut secara tegas dan disiplin kepada mereka yang telah berumur minimal sepuluh tahun. Jika ini yang terjadi, ini adalah awal sebuah bencana yang akan menimpa menjadi bencana yang besar dalam rumah tangga kita. Jika demikian yang terjadi, jangankan lahir dari rumah tangga kita generasi penerus yang sholih yang mampu mendukung kesuksesan pengabdian kita kepada Allah SWT, sedangkan generasi sholih yang mampu membentengi dirinya dari perilaku salah saja tidak bisa. Yang pastinya, generasi Isma’il abad kini tidak akan pernah lahir dari rumah tangga seperti ini. bagaimana akan lahir, sedangkan orangtua yang seharusnya melahirkannya saja tidak mampu mendidik dirinya bak Ibrahim ‘alaihissalam seperti yang diterangkan di atas.

Akhirnya, dipenghujung ceramah ini, marilah kita bersama merenungkan kembali akan langkah dan usaha kesholihan apa yang telah dan sedang kita jalankan saat ini. semoga sisa hidup yang masih bersatu dengan usia badan ini, tidaklah menjadi sesuatu yang membuat kita menyesal sepanjang masa kelak di akhirat.

Semoga bermanfa'at,

Subhaanaka wabihamdika asyhadu anlaa ilaaha illa anta astaghfiruka wa atubu ilaika, walhamdulillahi rabbil 'aalamin.




Tidak ada komentar: